Malam semakin larut. Tak ada orang lain di sini. Sepi
mencekam. Resah memuncak. Mungkin harus sampai pagi aku di sini. Kalau tidak,
aku bisa dipecat esok hari. Sudah kuputuskan, aku memang haru terus di sini
sampai semuanya beres. Aku tak boleh pulang dari ruangan ini sekarang. Aku
harus lembur lagi malam ini.
Aku memang sudah tak kuat. Sudah jenuh mataku menatap layar
kaca ini. Namun, aku tak mungkin shut
down komputer ini. Bokongku
pun harus tetap setia di kursi ini. Demi istri dan anak, aku rela melakukan
semua ini.
Aku sedih.
Setiap malam aku selalu membuat istri dan anakku resah.
“Ayah kok gak pulang-pulang ya, Bu?” begitulah
rengek si bungsu pada ibunya, setelah beberapa jam menanti kedatanganku.
Menanti kedatangan suami dan ayah mereka di emperan gubuk tua warisan kakekku.
Aku sering
menatap dan menghakimi diriku. Berdosakah aku ini, sehingga malang nasibku?
Mengapa justru aku yang menderita? Semua temanku sukses. Bahkan teman sebangku
di SMP sudah menjadi seorang anggota DPR. Bukan hanya itu. Para pejabat itu
banyak dikenal sebagai koruptor. Tapi hidup mereka malah mewah. Mengapa Tuhan
memberi berkat-Nya untuk para koruptor, tetapi aku tidak?
Untung masih
ada istri dan anak-anakku. Seandainya aku sendirian, pasti telah kuakhiri hidup
ini. Mereka itulah kebanggaanku. Juga mereka itu harta yang tiada duanya.
Kemiskinanku terisi ketika bercanda ria bersama. Asaku kembali bergairah saat
bersama lagi di kala malam tiba.
Kini musim dingin datang menyapa. Istri dan anak-anaku selalu
terlihat kaku setiap malam. Anakku yang sulung membungkus tubuhnya yang kurus
dengan secarik kain yang diberikan kakeknya tiga tahun lalu. Buah hatiku yang
bungsu hanya berselimutkan kehangatan pelukan ibunya. Sementara aku dan istriku
hanya bisa dihibur nyamuk yang selalu menyapa kami setiap malam, dikala kami
meratapi nasib malang kami.
Aku sering berkhayal. Seandainya aku ini orang kaya, aku
pasti tak sekarat ini. Aku pasti selalu hidup bahagia. Punya rumah mewah, mobil
mewah, makanan enak, juga bisa punya banyak teman baru. Aku juga pasti punya pembantu. Jadi aku tidak
perlu capai bekerja, apalagi lembur.
Bukan hanya itu. Aku juga pasti punya beberapa istri. Pokoknya, aku pasti
selalu berpesta pora dan hidup berfoya-foya.
Tapi aku pun takut kaya. Jangan sampai aku pun nanti membuat
kejahatan yang sama, seperti yang sekarang orang-orang kaya itu perlakukan
padaku. Mereka membentakku, tidak menghargaiku, bahkan mempermainkanku. Aku
tahu tak selamanya aku salah. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa. Mereka
selalu mengancam memecat aku jika aku terlalu banyak celoteh.
Begitulah
nasibku. Malang dan membosankan. Tuhan, aku lelah dengan hidup ini.
Biarkanlah aku pergi dari sini sekarang, jika Dikau berkenan.
Komentar
Posting Komentar