Langsung ke konten utama

KRITIK SEHAT, POLITIK BERADAB



Kritik dirasakan semacam tabu dalam sistem berpolitik di Indonesia. Setiap orang berusaha menghindari kritik. Bila dikritik, seseorang atau suatu kelompok merasa sedih, tak berarti, bahkan marah karena direndahkan. Sebaliknya, bila mengkritik orang lain, seseorang atau suatu kelompok merasa bangga karena mampu menaklukkan argumen bahkan kepribadian orang atau pihak lain. Ironisnya, semua akan tertawa tanpa merasa malu dan bersalah bila menyaksikan orang lain dikritik. Orang atau pihak lain yang dikritik bagai objek yang layak ditertawakan.
Gaya dan esensi kritik seperti ini lambat laun akan meruntuhkan kepribadian setiap individu manusia Indonesia. Konsekuensi luasnya, ikatan hidup bermasyarakat menjadi lemah, sehingga akhirnya eksistensi bangsa dan negara terancam runtuh. Untuk itu, kita harus “membangun suatu kritik yang sehat menuju kehidupan berpolitik Indonesia yang beradab”. Inilah pernyataan tesis yang akan diuraikan dalam esai ini.

Kritik yang Sehat
Kritik selalu diungkapkan dalam bahasa tertentu. Itu berarti setiap budaya mempunyai kekhasan kritiknya sendiri. Gaya kritik di dunia Barat tentu berbeda dengan dunia Timur. Bahkan dalam dunia Timur, gaya kritik bervariasi. Karena itu, masuk dalam budaya tertentu berarti gaya kritik pun harus disesuaikan.
Meskipun gaya kritik bermacam-macam sesuai dengan budaya-budaya yang ada, kritik selalu mempunyai esensi yang sama. Menurut Matthew Arnold, kritik harus dengan tegas menolak untuk memasuki kawasan praktik sosial, yang cukup berbeda dari kawasan ide. Kritik harus berusaha menegakkan apa yang terbaik dalam pikiran manusia ‘tanpa menghiraukan praktik politik dan segala macamnya’.
Dari pernyataan Arnold ini, kita menemukan bahwa sasaran atau alamat tuju suatu kritik adalah ide sesorang, bukan untuk melecehkan kepribadian orang lain. Arnold menginginkan suatu kritik yang sangat objektif dan tidak memihak sehingga mampu mengatasi semua kelas sosial dan kepentingan khusus, dengan melihat objek sebagaimana adanya. Itu berarti seorang kritikus harus memahami secara holistik suatu persoalan yang akan dikritiknya.
Kenyataannya, para kritikus cenderung menghakimi padahal tidak mengetahui esensi dari suatu persoalan. Mereka cenderung angkuh dan antisosial. Karena itu, sebagian besar kritik mereka, menurut Terry Eagleton, ‘bersifat memarahi dengan kasar’. Akibatnya, kritik yang bertujuan mulia harus berujung pada pertikaian, permusuhan, bahkan pertumpahan darah.
Selanjutnya, Eagleton mengatakan bahwa ada dua faktor yang membuat kritik itu hampa. Pertama,faktor ekonomi. Kenyataannya, kebanyakan kritikus handal adalah para orator hebat. Dengan segala argumen yang cemerlang, mereka mampu memenangkan suatu perdebatan. Keunggulan ini layak mendapat apresiasi dari semua pihak. Namun, menjadi sangat disayangkan ketika kecemerlangan para kritikus disalahgunakan. Mereka sering tidak objektif dalam mengungkap kebenaran. Mereka terkesan beraksi menarik sehingga laku di pasaran. Berbagai usaha mereka tempuh sehingga argumentasi mereka tampak ilmiah, logis, sistematis, dan estetis, tetapi jauh dari kebenaran sejati.
Berhadapan dengan kenyataan ini, Walter Bagehot (1855) dalam esainya yang berjudul The First Edinburgh Reviewers menulis:
“Tidak ada gunanya menyapa dengan bentuk-bentuk sains, atau ketegaran ketepatan, atau rasa jemu diskusi tuntas. Kebanyakan orang tidak sabar dengan sistem, dan menginginkan yang pendek, bingung oleh formalitas. Jadi, tuntutan bukan diarahkan pada hal-hal teknis para ahli, atau fiksi orang-orang terpelajar pertapa, melainkan pada rasa mendalam, perasaan hati, usaha-usaha yang menyakitkan dari semua orang yang berpikir dan berharap.”
Itu berarti setiap kritikus harus memahami betul apa yang menjadi kebutuhan orang atau pihak yang akan dikritik. Orang lain yang dikritik harus menjadi baginya subjek lain (bukan objek) yang dengannya mereka bersama membangun suatu relasi intersubjektif. Dalam pengertian ini, suatu kritik harus bersifat membangun.
Selain itu, seorang kritikus secara ideal harus hadir sebagai cermin yang memampukan orang lain menemukan siapa dirinya, sekaligus sebagai pelita yang mampu menerangi pendapat umum yang keliru. Untuk itu, dia harus masuk dan mengalami secara sungguh-sungguh apa yang dialami oleh orang yang akan dikritiknya. Hanya dengan cara demikian, kebenaran suatu kritik menjadi sungguh-sungguh objektif dan berguna bagi semua pihak, khususnya yang dikritik. Singkatnya, senada dengan Hannah Arendt, kita boleh mengatakan bahwa suatu kritik yang sehat adalah kritik yang lahir dari orang yang mampu mengungkap kebenaran suatu realitas dari kacamata korban, dalam hal ini orang yang akan dikritik.
Faktor kedua adalah faktor politik. Menurut Hannah Arendt, politik adalah ungkapan kebebasan. Kebebasan di sini mengandaikan kehadiran dan pengakuan akan yang lain sebagai pribadi unik. Keunikan setiap pribadi merupakan dasar pluralitas sebagai titik tolak politik. Pluralitas sebagai syarat politik terungkap lewat proses persetujuan, kritik, penolakan, dan kerja sama. keseluruhan proses ini terjadi dalam komunikasi atau wicara. Karena itu, politik adalah wicara atau diskursus rasional bebas represi.
Kenyataannya, para kritikus hebat sering dimanfaatkan para penguasa politik. Akibatnya, yang mempunyai bahasa yang benar atau rasional hanya milik para penguasa (politik). Benar salahnya suatu hal tergantung mutlak pada penguasa politis. Para kritikus berusaha dengan berbagai cara untuk meyakinkan masyarakat sipil, mulai dari cara persuasi sampai dengan pernyataan-pernyataan logis-dogmatis yang bersifat mengecam. Dengan bertopeng pada rezim yang berkuasa, para kritikus memainkan kata-kata manis yang ‘meninabobokan’ serta melunakkan berbagai protes ketidakpuasan masyarakat. Hal inilah yang oleh John Barell memandang orang-orang biasa (masyarakat) sebagai mereka yang “bukan bagian dari komunitas bahasa”, dan dengan demikian mereka juga tidak menjadi bagian dari masyarakat politik.

Politik yang Beradab
Aristoteles memandang manusia dari kodratnya sebagai makhluk sosial dan politis. Itu berarti hidup bersama dan kegiatan berpolitik bukan suatu doktrin atau dogma yang ditanamkan dan harus dipatuhi. Sebaliknya, hidup bersama dan kegiatan berpolitik merupakan pengungkapan kodrat manusia. Manusia menemukan dirinya sebagai manusia ketika ia membangun hidup bersama dan ikut terlibat dalam kegiatan berpolitik.
Ada hubungan erat antara hidup bersama dan kegiatan berpolitik. Hidup bersama merupakan hasil dari aksi berpolitik. Sebaliknya, aksi berpolitik hanya bisa terjadi dalam suatu kehidupan bersama. Keduanya saling mengandaikan dan tak dapat dilepaspisahkan. Jika suatu politik baik dan beradab, suatu tatanan kehidupan bersama pun baik dan terus berjaya; dan jika politik buruk, tatanan hidup bersama pun buruk dan terancam runtuh. Sebaliknya, jika kehidupan bersama mantap, politik menjadi subur dan bermanfaat; dan jika tatanan kehidupan bersama bobrok, politik pun bobrok karena penuh dengan manipulasi politik yang bersifat teknis dan fungsional.
Keeratan hubungan antara hidup bersama dan politik mengindikasikan bahwa politik mendapatkan titik tolaknya pada keunikan setiap pribadi. Itu berarti politik menghargai serta berdasar pada pluralitas yang merupakan kekayaan dalam hidup bersama, bukan pada rasionalitas ekonomis. Karena itu, politik akan menyangkal eksistensi dan esensinya jika setiap kebijakan dan keputusan politis hanya melayani kepentingan kelompok tertentu. Sebaliknya, politik akan benar-benar mengungkapkan jati dirinya jika setiap pribadi dalam suatu tatanan hidup bersama merasakan bahwa aspirasi dan kebutuhannya sungguh terjawab. Jika seperti ini yang terjadi, tatanan hidup bersama yang membentuk keutuhan masyarakat Indonesia tetap kokoh dan kegiatan berpolitik pun semakin memancarkan keberadaban dan keindahannya.

Kritik yang Sehat menuju Politik Indonesia yang Beradab
Dalam arti tertentu, politik bisa diartikan sebagai suatu seni mengatur diri. Dengan mengatur diri secara benar dan tepat, hidup menjadi bermutu dan mampu hidup berdampingan dengan orang lain dalam suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, kelalaian dan ketidakpandaian dalam mengatur diri akan berdampak buruk bagi setiap pribadi, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran suatu tatanan hidup bersama.
Dalam jangkauan yang lebih luas, politik bisa diartikan sebagai suatu seni mengatur hidup bersama, baik hidup bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara. Itu berarti kita membutuhkan pedoman dalam hidup bersama. Untuk itu, kita membutuhkan alasan-alasan yang mencukupi untuk menetapkan pedoman tertentu sebagai dasar dan orientasi hidup bersama. Di sinilah kritik yang sehat memainkan peranan penting.
Dalam konteks berpolitik di Indonesia, dasar dan orientasi  untuk suatu tatanan hidup bersama adalah pancasila. Persoalannya adalah pancasila bukan suatu rumusan aturan operasional (yang siap pakai). Pancasila membutuhkan suatu tafsiran, sehingga darinya dapat dijabarkan nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup bersama. Kita perlu dan harus membangun suatu kritik yang sehat untuk menemukan nilai-nilai itu, apalagi nilai-nilai itu akan menjadi pedoman bagi setiap kebijakan dan keputusan politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kenyataannya, banyak pihak di Indonesia mendasarkan hidup berpolitik mereka pada otoritas agama. Namun, kendalanya adalah masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural dalam berbagai dimensi kehidupan, juga dalam hal agama. Karena itu, “agama manakah yang akan dijadikan dasar legitimasi hidup berpolitik di Indonesia?” Hal ini menjadi tantangan terbesar dalam kehidupan berpolitik di Indonesia.
Masyarakat Indonesia mustahil mendasarkan diri pada sebuah agama tertentu. Agama hanya boleh bergerak pada ranah privat dan tidak boleh menjadi sumber legitimasi bagi politik. Idealnya, suatu kebijakan dan keputusan politik mendapat legitimasi bukan karena bertopeng pada otoritas ilahi, melainkan karena ia mampu menjawabi aspirasi dan kebutuhan serta menjamin keunikan dan keamanan setiap pribadi dalam pluralitas masyarakat.
Thomas Hobbes mengatakan hal senada. Ia berpandangan, negara yang menjamin perdamaian umum hanya dapat dibangun jika aliansi kekuasaan ganda ini (religius dan politik) dilumpuhkan. Dalam konteks hidup bersama di Indonesia, pemisahan otoritas negara dan agama dapat mencegah terjadinya perang antaragama. Jika agama tertentu berada di puncak kekuasaan politis, agama-agama lain akan melakukan perlawanan karena merasa dihina dan disingkirkan dari tatanan hidup bersama. Jadi, perang antaragama dapat dihindari jika agama keluar dari ranah politik.
Dengan mengeluarkan legitimasi agama dari setiap keputusan dan kebijakan politik, kritik terhadap setiap persoalan hidup menjadi lebih rasional, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan secara universal. Dengan kata lain, kritik dalam kehidupan berpolitik di Indonesia yang bebas dari legitimasi agama akan sungguh-sungguh menghargai dan mempertahankan eksistensi dan esensi dari setiap individu dan kelompok di Indonesia. Dengan demikian, pluralitas masyarakat di Indonesia tidak lagi menjadi tantangan, tetapi menjadi lahan subur bagi kegiatan berpolitik di Indonesia.
Secara ringkas, kita boleh menyimpulkan sebagai berikut. Hidup bersama dan kegiatan berpolitik merupakan kodrat manusia. Namun, untuk mewujudkannya, manusia membutuhkan pedoman yang mampu mendasari dan mengarahkan hidup bersama serta kegiatan berpolitiknya. Di Indonesia, kebanyakan orang mendasarkan hidup bersama dan kegiatan berpolitik pada otoritas agama. Persoalannya adalah legitimasi politik pada agama tidak bisa berlaku universal karena fakta pluralitas agama di Indonesia tidak memungkinkan. Karena itu, otoritas agama harus dipisahkan dari kegiatan serta setiap keputusan dan kebijakan politis di Indonesia. Hanya dengan pemisahan ini, setiap kritik terhadap berbagai persoalan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia menjadi lebih rasional, objektif, dan bisa dipertanggungjawabkan secara universal. Dengan demikian, berbagai usaha dan hasil kritik mampu membangun tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta menjadikan kegiatan berpolitik di Indonesia semakin beradab.


Referensi
F. Budi Hardiman, Massa, Teror, dan Trauma Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita, Lamalera dan Ledalero, Yogyakarta 2011.
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta 1987.
John Barell, English Literature in History 1730-1780, London 1957.
Matthew Arnold, Poetry and Prose, dalam John Bryson (ed.), The Function of Criticism at the Present Time, London 1854.
Terry Eagleton, Fungsi Kritik, Kanisius, Yogyakarta 2003, diterjemahkan dari Judul asli The Function of Criticism, Verso, New York, 1994 oleh Hardono Hadi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...