Namamu di Hatiku - Amo Ergo Sum!
Semuanya cokelat! Dari kejauhan tampak jelas. Debu beterbangan ke sana
kemari. Bahkan di dalam pesawat sudah terasa aroma terbakar. Asap mengepul di
sisi jalur penerbangan. Sering juga pesawat menabrak awan hitam, hasil gumpalan
asap yang beranjak beku. “Adakah di sana secercah harapan?” gumam gadis itu
dari kisi-kisi pesawat yang ditumpanginya.
Dia gadis sederhana, tapi berjiwa
petualang. Mungkin karena ia seorang blasteran. Ayahnya berdarah Jerman,
sedangkan ibunya berdarah Indonesia. Darah Jerman ayahnya menarik dia turun
dari awang-awang ide menuju lumpur realitas. Sebaliknya, darah ibunya
menjeritkan realitas derita perjuangan, sehingga sering lebih ingin hidup dalam
khayalan ide dan ilusi. Namun, kedua darah itu mengalir kencang, lalu
bertabrakan hingga meneteskan hidup, dan lahirlah si gadis cantik berwajah
manis.
Nama gadis itu Rosa. Nama beraroma Latin,
bertebar harum mawar. Itulah dia, gadis yang kini tengah menyedot peluh, perih,
dan amisnya kota Hilang dari kisi-kisi pesawat yang ditumpanginya.
Pesawat sudah mendarat. Rosa masih dalam lamunannya. Ia tak
menyangka, kota indah ini akhirnya hancur lebur. Kerakusan kuasa para elit
memporak-porandakan madunya. Bahkan ampasnya pun diluluhlantahkan. Kini yang
tersisa hanyalah cokelat kegersangan debu puing-puing bangunan dan hitamnya
kepulan asap hasil bombardir si jago merah. Namun, apalah daya. Nasi sudah
menjadi bubur. Hanya boleh memilih ‘dimakan’ bila tak ingin nyawa melayang.
Tersentak Rosa insaf dari lamunannya. Ia
baru sadar dirinya kini mematung di atas petak sawah yang tak jauh dari pagar
bandara. Tatapan matanya ia buang jauh ke depan. Di ujung sana matanya
menangkap sesuatu bergerak ke sana kemari. Pemandangan ini menghipnotisnya. Ia
mendekat ke sana.
Ternyata bukan sesuatu. Di sana didapatinya
seseorang. Pemuda tampan berjanggut tipis, bertubuh kekar, bermata asa. Di ujung telapak tangan kasarnya tergenggam
gagang cangkul. Membacok tanah bak penjahat haus darah korban. Membanting keras
menyobek rongga tanah hanya demi sesuap nasi.
Hati siapa yang tak iba. Apalagi hati si
gadis manis yang tengah menatapnya. Hidup di zaman ini hanya dengan bermodalkan
sebilah cangkul. Membanting tulang, menguras daging, meneteskan peluh dan
darah.
Tanpa sadar mata Rosa berkaca. Kelopak matanya tak mampu menampung perih. Kini Rosa mendapati pipinya sudah basah
dibanjiri cairan iba dan duka. Ia tak tahu pada siapa ia harus mengadu. Juga ia
tak tahu pada siapa ia harus ‘curhat’ penglihatan hebat itu.
Hati gadisnya teriris terasa disayat.
Tenggorokannya perih bak menelan beling. Bibirnya terkatup seperti terkunci
gembok gerbang kekaisaran Roma. Ia
tak menyangka masih ada orang di zaman ini yang hidup dalam derita seperti itu.
Rasa salah menyelimuti kesadaran Rosa. Tapi
siapa yang harus dipersalahkan. Mungkinkah dirinya sendiri, karena begitu lama
menikmati hidup dalam kemewahan sehingga ia melupakan orang-orang seperti itu?
Ataukah pemerintah yang harus dipersalahkan? “Tapi pemeritah kan
tempatnya di kantor, bukan di sawah,” gumamnya mulai menalar perasaannya.
“Hei, siapa kau?” sapa pemuda itu.
“Eh, ehmm…, aku Rosa,” jawab Rosa gugup.
“Mau apa kamu berdiri di sini?” tanya
pemuda itu.
“Aku mau mengadakan penelitian!” jawab Rosa
mulai percaya diri.
“Apa? Penelitian? Untuk apa? Semua orang di
sini sudah bosan dengan penelitian. Kalian hanya datang untuk mengambli madu
dari kami, iya kan?”
“Apa maksud kamu?” tanya Rosa dengan nada
agak kecewa.
“Semua penelitian itu hasilnya hanya ada di
atas kertas. Lalu ada berbagai penghargaan dan kemakmuran bagi para peneliti. Tapi tidak pernah membawa perubahan bagi nasib kami di kota Hilang
ini.”
“Justru itu maksud kedatanganku. Aku ingin penelitianku memperbaiki
nasib kota ini. Tolong aku! Jika kamu keberatan menolongku, tolong antarkan aku
ke rumah pak Greg. Aku mendengar, putranya, Rey, yang bisa membantuku.”
Raut wajah pemuda itu berubah seketika. Ia heran. “Dari mana gadis ini mengenal
nama pak Greg dan Rey?” gumamnya. Ia membolak-balik pikirannya, tapi tak ada
jawaban. Ia mencari di cela-cela cangkulnya, tapi tak juga ia temui.
Ia memang tak tahu kebiasaan para peneliti.
Yang ia tahu hanya cangkul dan sawah. Para peneliti itu unik, juga aneh. Sebagian dari mereka adalah orang asing, tetapi sok tahu
segala.
“Ayo, tolong antarkan aku ke sana!” pinta
Rosa sedikit mendesak.
“Apakah kamu yakin Rey bisa membantu kamu?”
tanya pemuda itu.
“Iya, aku yakin!”
“Bagaimana kamu bisa seyakin itu?” pemuda
itu ingin tahu lebih dalam.
“Aku mendengar banyak kisah tentang Rey.
Aku pernah membaca namanya di surat kabar. Juga namanya pernah tercantum dalam
laporan sebuah penelitian. Dia adalah seorang pekerja keras, pantang menyerah,
bijaksana, dan rendah hati. Penelitanku membutuhkan bantuan orang seperti itu.
Karena aku ingin penelitianku ini bisa mengubah nasib derita kota Hilang ini.”
Pemuda itu hanya bisa diam. Pikirannya tak
mampu merangkai kata. Bibirnya pun enggan berkata. Hanya hatinya yang
bergejolak. Matanya pun mulai melihat iba di hati Rosa. Ia yakin Rosa berbeda
dari peneliti lainnya. Ia tak tega membuat Rosa terus memohon padanya untuk
mengantarkannya ke rumah pak Greg.
Tanpa malu ia menggenggam tangan Rosa.
Memapahnya menyusuri petak sawah menuju rumah pak Greg. Di sana ia akan
memperkenalkan Rey padanya. Lalu mereka akan melakukan penelitian bersama, dan
nasibnya akan mengubah nasib kota Hilang.
Tak seberapa langkah, rumah pak Greg
tampak. Rumah sederhana, beratap alang-alang dan beralas lantai tanah. Di sana,
pak Greg telah menanti kedatangan mereka bagai menepati janji untuk bertemu.
Pemuda itu memperkenalkan Rosa pada pak
Greg. Lalu ia masuk menemui Rey. Sementara itu, pak Greg dengan bangga
mengisahkan keadaan keluarganya di tengah situasi kota Hilang yang kini hancur
lebur diporak-porandakan para bengis. Tak lupa ia pun memperkenalkan putra
tunggalnya yang mati-matian berjuang demi tetap eksis keluarganya.
“Di mana putra Bapak sekarang?” tanya Rosa
ingin tahu.
“Masa kamu tidak kenal? Tadi itu dia. Dia
yang mengantar kamu ke sini. Dia itu putraku, Rey!”
“Aduh…, Rey, Rey…!” teriak Rosa setengah
histeris. Ia lupa diri kalau ia adalah seorang tamu, juga orang asing di kota
itu. Tapi itulah yang terjadi. Memang terkadang begitulah caranya gadis
manis mengekspresikan diri.
Rey mendengar namanya dipanggil. Ia tampil
ke depan. Membawa segelas teh manis dan sepotong roti untuk Rosa.
Rosa menjemputnya. Ia mencubit lengan Rey
manja, lalu memeluk Rey.
“Mengapa kamu tak memberi tahu aku dari
tadi kalau kamu ini Rey?” protes Rosa pada Rey dengan nada cengeng.
“Karena kamu tak bertanya tentang namaku?” jawab Rey spontan.
“Maaf, aku tidak tahu kalau kamu itu orang yang sedang ramai
dibicarakan orang-orang, juga menjadi bahan diskusi para peneliti itu. Mereka
mengagungkan kamu, tapi dari tadi kamu tampak biasa-biasa saja. Itulah sebabnya
aku tak menyangka kalau kamu itu orangnya.”
Hanya senyum balas Rey. Ketampanan Rey makin tebar aroma. Bau
keringatnya pun jadi harum dan menusuk jantung Rosa, karena nama Rey yang telah
mencuri separuh hidupnya selama ini kini orangnya berdiri tegap di depannya. Dalam
jarak pandang yang begitu dekat, nama Rey terperosok curam menghempas hati
Rosa. Di sana nama itu mencabik-cabik gejolak kalbu lembut si gadis manis
blasteran Jerman-Indonesia itu.
“Terima kasih, Rey! Namamu memang cocok dengan dirimu. Kau, Rey,
kau memang raja…, rajaku. Bersamamu kita akan mengadakan penelitian ini, dan
mengubah nasib kota Hilang ini. Kini namamu bukan lagi di atas surat kabar dan
laporan para peneliti egois itu. Juga namamu tak sebatas di kupingku. Kini
namamu terlukis indah di hatiku. Kutak ingin semua ini berlalu!”
Bagai pujian manis ratu negeri Syeba pada
kebijaksanaan Salomo, Rosa pun memuji Rey. Juga bagai warga Samaria yang
percaya pada Yesus karena mengalami sendiri perjumpaan dengan-Nya, begitu pula
saat Rosa mengenal Rey. Itulah sebabnya kebahagiaan Rosa tak terkatakan. Hanya
pelukan erat pada Rey yang bisa mengobatinya.
Rey pun membalas pelukan Rosa.

Komentar
Posting Komentar