Dia selalu memperhatikanku. Dia tak pernah memarahiku.
Dia selalu mengerti denganku. Mungkin karena aku paling kecil di kelasku.
Dia terkenal seorang
katekis hebat. Ia tak pernah lalai dalam berdoa. Dia juga rajin bekerja. Lari
dari tanggung jawab tak pernah terlintas di benaknya. Ia sungguh seorang guru
dan katekis yang luar biasa.
Tapi, entah kenapa?
Suatu hari, semua kebaikannya lenyap. Orang-orang sekampungku menghujatnya.
“Munafik…! Munafik…!” Begitulah syair kutuk menyoraki sang guru yang kukagumi.
Mungkin ini
kekurangannya. Hanya ini dan yang kutahu hanya yang satu ini. Tapi, kekurangan
ini merupakan aib di kampungku. Ternyata, orang yang kukagumi itu menghampiri
istri orang.
Waktu itu, aku masih
kanak-kanak. Aku ikut-ikutan menghujat guruku itu. Meski dulu kukagumi, tapi
akhirnya kucemooh. Bahkan, aku bangga bisa ikut menghakiminya.
***
Kini dua belas tahun
berlalu. Tak kutahu di mana rimbanya. Tapi, aku masih ingat persis apa yang
selalu ia tekankan dalam ajaran-ajarannya. Ia selalu meminta kami hidup sesuai
dengan Sabda Allah. Kami didorong untuk tak jemu-jemunya membaca Kitab Suci. “Di
sana tertulis Sabda Allah. Karena itu, membaca, merenungkan, dan menghidupi
Sabda Allah dalam Kitab Suci harus menjadi perhatian bagi orang Katolik,”
katanya.
Ajaran inilah yang
membuat aku kecewa. Mengapa justru ia yang tak mampu menghidupi Sabda Allah
seperti tertulis dalam Kitab Suci? Peristiwa ini membuat aku skeptis berhadapan
dengan para tokoh agama.
Meski kecewa, aku tetap
mengingat ajaran-ajarannya. Aku ingin memungkiri semuanya. Tapi, aku tak mampu.
Juga aku tak tega. Ajarannya membentuk aku. Aku bukanlah aku sekarang jika
tanpa ajaran-ajarannya.
***
Suatu ketika, aku
terperanjat. Aku menemukan satu teks Kitab Suci tentang perzinahan Daud,
seorang raja Israel yang sangat dikagumi pada zamannya –bahkan hingga zaman
ini.
Ternyata Daud diampuni
Allah. Allah tidak menghujat dia. Aku malu. Aku telah menghina guruku. Padahal,
Allah telah mengampuni semua dosa dan kesalahannya.
Aku yakin itu.
Keyakinanku bukan keyakinan palsu. Juga keyakinanku bukan ilusi belaka.
Keyakinanku berdasar. Aku masih ingat persis yang terjadi dua belas tahun lalu.
Guruku itu mengakui semua kesalahan dan dosanya di depan publik. Juga di depan
Allah melalui pastor parokiku waktu itu. Waktu itu, dia pun berjanji untuk
tidak berbuat dosa lagi.
Janji itu teguh. Ia
sungguh komitmen. Kini ia menjadi panutan lagi di kampungku. Orang-orang
sekampungku kini kembali mengagumi dia. Lebih daripada yang duhulu. Kejayaannya
kini kembali bersinar.
Pak Greg, maafkan aku…!
Tuhan, bolehkan aku kembali mengemis di emperan Kerajaan-Mu…???
Komentar
Posting Komentar