Aku hidup di padang gurun. Orang lebih mengenalku dengan
sebutan ‘suara orang yang berseru-seru di padang gurun’. Namun, aku bukan
turunan orang padang gurun.
Dulu leluhurku adalah para pengembara. Mereka mengembara
di padang gurun. Namun, bukan dari padang gurun itu mereka berasal. Mereka itu
orang Mesopotamia. Dari sana mereka mengembara. Namun, mereka bukan sembarang
pengembara. Mereka mengembara karena suatu panggilan.
Konon leluhurku, bernama Abraham, dipanggil Allah. Cinta
Allah padanya begitu dalam. Bahkan Allah memandangnya sebagai sahabat.
Mereka sering curhat.
Bahkan tidak jarang Allah tawar-menawar dengannya dalam putusan-putusan. Semua
ini terjadi karena Allah sangat mengasihi dia. Juga sebaliknya, Abraham,
leluhurku itu, sangat mencintai Allah. Ia mempunyai iman yang tak tergoyahkan
kepada Allah.
Aku pernah mendengar suatu kisah yang menganggungkan
tentang imannya. Suatu saat, Allah meminta dia mempersembahkan putra
tunggalnya, Isak, sebagai korban bakaran. Abraham bukannya menolak, malah
dengan iman teguh bersedia tanpa rintihan keluh kesah.
Hal ini merupakan sesuatu yang aneh. Memang sungguh tak
masuk akal. Putra tunggalnya harus diserahkan sebagai kurban bakaran. Padahal,
sejak pertemuan pertama antara Allah dan Abraham, Allah menjanjikan akan
melimpahkan segala sesuatu kepada keturunannya. Allah menjanjikan berkat
melimpah, tanah terjanji yang berlimpah susu dan madu, dan keturunan yang
banyaknya seperti bintang di langit dan pasir di pantai laut.
Kenyataannya, Allah memintanya mempersembahkan putra
tunggalnya itu. Seolah-olah Allah membatalkan semua yang telah dijanjikan.
Kelihatan seperti lelucon dan tak masuk akal. Namun, cinta yang mendalam
antara Allah dan Abraham mengalahkan
semua yang tak masuk akal ini. Janji Allah menjadi dasar harapan. Iman Abraham
akan janji Allah menjadi kekuatan cinta dan pengorbanannya.
Karena iman Abraham ini, Allah tak tega membiarkan Isak,
putra tunggalnya itu, dijadikan ‘tumbal’. Ketika Abraham hendak ‘menyembelih’
Isak, Allah menghentikannya. Saat ia menoleh, ia melihat Allah telah
menyediakan seekor anak domba yang tanduknya tertambat di belukar. Abraham
mengambil domba itu, lalu disembelih dan dikurbankan sebagai ganti putra tunggalnya, Isak. Isak inilah
yang mewarisi keturunanya, hingga keluargaku, dan aku. Begitulah asal-usulku.
***
Entah mengapa, aku lebih dikenal dengan sebutan ‘suara
orang yang berseru-seru di padang gurun’. Padahal namaku penuh misteri.
Begini kisahnya. Umumnya, para imam Yahudi tinggal di
Yerusalem, kota di mana Bait Allah berada. Namun, ayah dan keluargaku tidak
tinggal di sana. Ayah dan ibuku sekeluarga tinggal di luar kota Yerusalem.
Mereka tinggal di sekitar Pegunungan Yudea.
Ayahku termasuk imam dari rombongan Abia. Namanya
Zakharia. Suatu ketika, ayahku mendapat giliran tugas untuk membakar ukupan di
Bait Allah. Karena itu, ia bersemangat ke Yerusalem.
Sesuai tradisi dan hukum Yahudi, seorang imam Yahudi
harus terlebih dahulu tahir atau menguduskan diri sebelum masuk ke dalam Bait
Allah dan membakar ukupan. Karena itu, ia sungguh mempersiapkan diri untuk
tugas imamat itu. Ia telah tahir dan layak untuk tugas itu.
Seperti lazimnya dalam agama kami, hanya imam yang
mendapat undian untuk tugas imamat saat itu sendirilah yang berhak masuk ke
dalam Bait Allah. Karena itu, ayahku masuk ke dalam Bait Allah seorang diri.
Sementara itu, umat Allah berkumpul di luar dan sembahyang.
Umat Allah menanti penuh harap. Namun, ayahku belum
keluar juga. Tidak seperti biasanya, hari itu ayahku lama sekali di dalam Bait
Allah. Banyak orang mulai bertanya-tanya. Bahkan ada yang mulai panik. Ada apa
gerangan terjadi di dalam sana.
Semua orang ingin tahu apa yang terjadi. Namun, tak
seorang pun boleh masuk. Bait Allah itu
tempat suci. Tidak semua orang boleh masuk. Karena itu, yang bisa dilakukan
Umat Allah di luar hanyalah penantian berselimutkan ‘harap-harap cemas’.
Setelah lama menunggu, akhirnya ia muncul juga. Namun, ia
hanya mampu berbicara dalam bahasa isyarat. Ia telah menjadi bisu.
Semua orang heran. Namun, mereka mengerti bahwa pasti
ayahku mendapat penglihatan. Ketika selesai jangka waktu tugas jabatannya, ia
pulang ke rumah.
***
Hari berlalu, bulan pun berganti. Kini tiba saatnya ibuku
melahirkan putra sulungnya. Kata orang sekampung, ibuku terkenan aib. Karena
begitulah tradisi kami memandang orang yang tidak mempunyai anak. Kata mereka,
ibuku mandul karena dikutuk Allah.
Kini anggapan itu keliru. Di usianya yang sudah renta, ia
mengandung putra sulungnya. Kini ia melahirkan. Ayahku, yang bisu itu, semakin
‘berkata-kata’ hatinya. Kini ia percaya bahwa penglihatannya dalam Bait Allah
itu bukan suatu lelucon.
Kini ia sungguh beriman kepada Allah. Ternyata pesan
Allah melalui malaikatnya, Gabriel, menjadi kenyataan. Allah sungguh
mengingatnya dan mau memberi dia seorang putra, seperti pesan yang disampaikan
malaikat Gabriel dalam Bait Allah sembilan bulan lalu.
Setelah delapan hari kelahiran putra sulungnya itu,
datanglah orang berbondong-bondong ke rumah ayah dan ibuku. Mereka datang untuk
menyunatkan sekaligus memberi nama pada putra sulung pasangan tua ini. Mereka
ingin menamai dia Zakharia, seperti nama ayahnya. Namun, ibuku menjawab,
“Jangan, ia harus dinamai Yohanes.”
Semua orang heran.
Mereka berkata, “Tidak ada di antara sanak saudaramu yang bernama demikian.”
Namun, mereka tahu siapa orang yang tepat untuk memberi nama pada bayi mungil
itu.
Mereka mendekati ayahku. Mereka memberi isyarat kepadanya
untuk bertanya nama apa yang hendak diberikannya kepada putranya itu. Ia
meminta batu tulis, lalu menuliskan kata-kata ini: “Namanya adalah Yohanes”.
Aneh tapi nyata. Seketika itu juga terlepaslah ikatan di
lidah ayahku dan ia mulai berkata-kata dan memuji Allah. Semua orang yang hadir
di situ, juga penduduk sekitar pegunungan Yudea kagum akan semua yang terjadi
pada keluargaku.
Mereka merenung dan berkata: “Akan jadi apakah anak ini
nanti?” Sebab tangan Tuhan menyertai dia. Pertanyaan itu, kini terjawab. Aku
kini dikenang sepanjang zaman.
Aku adalah Yohanes. Aku seorang pembaptis. Namun, orang
sezamanku lebih mengenalku dengan sebutan, ‘suara orang yang berseru-seru di
padang gurun’. Ya, itulah aku.
Komentar
Posting Komentar