Langsung ke konten utama

Akan Jadi Apakah...?



            Aku hidup di padang gurun. Orang lebih mengenalku dengan sebutan ‘suara orang yang berseru-seru di padang gurun’. Namun, aku bukan turunan orang padang gurun.
            Dulu leluhurku adalah para pengembara. Mereka mengembara di padang gurun. Namun, bukan dari padang gurun itu mereka berasal. Mereka itu orang Mesopotamia. Dari sana mereka mengembara. Namun, mereka bukan sembarang pengembara. Mereka mengembara karena suatu panggilan.
            Konon leluhurku, bernama Abraham, dipanggil Allah. Cinta Allah padanya begitu dalam. Bahkan Allah memandangnya sebagai sahabat.
            Mereka sering curhat. Bahkan tidak jarang Allah tawar-menawar dengannya dalam putusan-putusan. Semua ini terjadi karena Allah sangat mengasihi dia. Juga sebaliknya, Abraham, leluhurku itu, sangat mencintai Allah. Ia mempunyai iman yang tak tergoyahkan kepada Allah.
            Aku pernah mendengar suatu kisah yang menganggungkan tentang imannya. Suatu saat, Allah meminta dia mempersembahkan putra tunggalnya, Isak, sebagai korban bakaran. Abraham bukannya menolak, malah dengan iman teguh bersedia tanpa rintihan keluh kesah.
            Hal ini merupakan sesuatu yang aneh. Memang sungguh tak masuk akal. Putra tunggalnya harus diserahkan sebagai kurban bakaran. Padahal, sejak pertemuan pertama antara Allah dan Abraham, Allah menjanjikan akan melimpahkan segala sesuatu kepada keturunannya. Allah menjanjikan berkat melimpah, tanah terjanji yang berlimpah susu dan madu, dan keturunan yang banyaknya seperti bintang di langit dan pasir di pantai laut.
            Kenyataannya, Allah memintanya mempersembahkan putra tunggalnya itu. Seolah-olah Allah membatalkan semua yang telah dijanjikan. Kelihatan seperti lelucon dan tak masuk akal. Namun, cinta yang mendalam antara  Allah dan Abraham mengalahkan semua yang tak masuk akal ini. Janji Allah menjadi dasar harapan. Iman Abraham akan janji Allah menjadi kekuatan cinta dan pengorbanannya.
            Karena iman Abraham ini, Allah tak tega membiarkan Isak, putra tunggalnya itu, dijadikan ‘tumbal’. Ketika Abraham hendak ‘menyembelih’ Isak, Allah menghentikannya. Saat ia menoleh, ia melihat Allah telah menyediakan seekor anak domba yang tanduknya tertambat di belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu disembelih dan dikurbankan sebagai  ganti putra tunggalnya, Isak. Isak inilah yang mewarisi keturunanya, hingga keluargaku, dan aku. Begitulah asal-usulku.
***
            Entah mengapa, aku lebih dikenal dengan sebutan ‘suara orang yang berseru-seru di padang gurun’. Padahal namaku penuh misteri.
            Begini kisahnya. Umumnya, para imam Yahudi tinggal di Yerusalem, kota di mana Bait Allah berada. Namun, ayah dan keluargaku tidak tinggal di sana. Ayah dan ibuku sekeluarga tinggal di luar kota Yerusalem. Mereka tinggal di sekitar Pegunungan Yudea.
            Ayahku termasuk imam dari rombongan Abia. Namanya Zakharia. Suatu ketika, ayahku mendapat giliran tugas untuk membakar ukupan di Bait Allah. Karena itu, ia bersemangat ke Yerusalem.
            Sesuai tradisi dan hukum Yahudi, seorang imam Yahudi harus terlebih dahulu tahir atau menguduskan diri sebelum masuk ke dalam Bait Allah dan membakar ukupan. Karena itu, ia sungguh mempersiapkan diri untuk tugas imamat itu. Ia telah tahir dan layak untuk tugas itu.
            Seperti lazimnya dalam agama kami, hanya imam yang mendapat undian untuk tugas imamat saat itu sendirilah yang berhak masuk ke dalam Bait Allah. Karena itu, ayahku masuk ke dalam Bait Allah seorang diri. Sementara itu, umat Allah berkumpul di luar dan sembahyang.
            Umat Allah menanti penuh harap. Namun, ayahku belum keluar juga. Tidak seperti biasanya, hari itu ayahku lama sekali di dalam Bait Allah. Banyak orang mulai bertanya-tanya. Bahkan ada yang mulai panik. Ada apa gerangan terjadi di dalam sana.
            Semua orang ingin tahu apa yang terjadi. Namun, tak seorang  pun boleh masuk. Bait Allah itu tempat suci. Tidak semua orang boleh masuk. Karena itu, yang bisa dilakukan Umat Allah di luar hanyalah penantian berselimutkan ‘harap-harap cemas’.
            Setelah lama menunggu, akhirnya ia muncul juga. Namun, ia hanya mampu berbicara dalam bahasa isyarat. Ia telah menjadi bisu.
            Semua orang heran. Namun, mereka mengerti bahwa pasti ayahku mendapat penglihatan. Ketika selesai jangka waktu tugas jabatannya, ia pulang ke rumah.
***
            Hari berlalu, bulan pun berganti. Kini tiba saatnya ibuku melahirkan putra sulungnya. Kata orang sekampung, ibuku terkenan aib. Karena begitulah tradisi kami memandang orang yang tidak mempunyai anak. Kata mereka, ibuku mandul karena dikutuk Allah.
            Kini anggapan itu keliru. Di usianya yang sudah renta, ia mengandung putra sulungnya. Kini ia melahirkan. Ayahku, yang bisu itu, semakin ‘berkata-kata’ hatinya. Kini ia percaya bahwa penglihatannya dalam Bait Allah itu bukan suatu lelucon.
            Kini ia sungguh beriman kepada Allah. Ternyata pesan Allah melalui malaikatnya, Gabriel, menjadi kenyataan. Allah sungguh mengingatnya dan mau memberi dia seorang putra, seperti pesan yang disampaikan malaikat Gabriel dalam Bait Allah sembilan bulan lalu.
            Setelah delapan hari kelahiran putra sulungnya itu, datanglah orang berbondong-bondong ke rumah ayah dan ibuku. Mereka datang untuk menyunatkan sekaligus memberi nama pada putra sulung pasangan tua ini. Mereka ingin menamai dia Zakharia, seperti nama ayahnya. Namun, ibuku menjawab, “Jangan, ia harus dinamai Yohanes.”
             Semua orang heran. Mereka berkata, “Tidak ada di antara sanak saudaramu yang bernama demikian.” Namun, mereka tahu siapa orang yang tepat untuk memberi nama pada bayi mungil itu.
            Mereka mendekati ayahku. Mereka memberi isyarat kepadanya untuk bertanya nama apa yang hendak diberikannya kepada putranya itu. Ia meminta batu tulis, lalu menuliskan kata-kata ini: “Namanya adalah Yohanes”.
            Aneh tapi nyata. Seketika itu juga terlepaslah ikatan di lidah ayahku dan ia mulai berkata-kata dan memuji Allah. Semua orang yang hadir di situ, juga penduduk sekitar pegunungan Yudea kagum akan semua yang terjadi pada keluargaku.
            Mereka merenung dan berkata: “Akan jadi apakah anak ini nanti?” Sebab tangan Tuhan menyertai dia. Pertanyaan itu, kini terjawab. Aku kini dikenang sepanjang zaman.
            Aku adalah Yohanes. Aku seorang pembaptis. Namun, orang sezamanku lebih mengenalku dengan sebutan, ‘suara orang yang berseru-seru di padang gurun’. Ya, itulah aku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...