Pagi itu cerah. Semua orang ceria.
Canda dan tawa melantun. Harapan makin pasti. Hidup jadi berarti.
Tidak seperti biasanya, semua orang
menuju tempat kerja. Pagi ini semua orang menuju tempat yang sama. Di sana
sudah menanti beberapa pasukan. Beberapa dari mereka menggunakan pakaian
putih-putih. Mereka inilah yang akan mengibarkan Sang Merah Putih, Bendera
Indonesia.
Hari ini bersejarah. Menyejarah
dengan berbagai peristiwa. Peristiwa yang melibatkan pribadi-pribadi. Pribadi
yang kokoh, setia, dan berani. Walau darah tercecer, tulang remuk, dan daging
tergilas, semangat mereka tak pernah pudar. “Aku rela mati demi NKRI,” teriak
mereka sambil menepuk dada.
***
Di sudut kamar bisu kecil itu,
ibuku menangis. Isak dan tangisnya memecah keheningan pagi itu. Sebentar
tersenyum, lalu menangis lagi. Sandiwara ini berlangsung lama. Aku jadi
panasaran. Ada apa gerangan dengan ibuku.
Kulangkahkan kakiku perlahan.
Dengan pasti kudekati ibuku. Lalu aku duduk di sampingnya. Aku menatapnya. Ia
membalas tatapanku dalam, lalu tersenyum. Aku menjadi bingung.
Kepalaku ditariknya mesra.
Diletakkannya pada dadanya. Aku terharu. Baru kualami lagi setelah puluhan
tahun berlalu. Ibuku memperlakukan aku seperti saat aku masih bayi.
Aku masih tetap bingung. Satu hal
belum terjawab. Mengapa ibuku bertindak agak aneh pagi ini? Kumencoba mencari
jawab, tapi tak kujumpa. Kuhanya berharap pencerahan terjadi pagi ini.
Di tengah kebingunganku, sekelompok
paduan suara berkumandang. Lantunan suara mereka bagai aliran sungai. Mengalun
pasti dan penuh gairah. Menghangatkan kuping dan menyejukan hati. “Indonesia
Raya…!” itulah lagu kebangsaan Indonesia yang dinyanyikan peserta upacara
pengibaran Sang Merah Putih di Lapangan Umum yang tidak jauh dari rumahku.
Jari-jari ibuku mengelus-elus
rambutku seiring alunan paduan suara itu. Aku semakin terlihat manja. Peristiwa
puluhan tahun silam terulang. Waktu bagai diputar kembali. Aku bagai dilahirkan
kembali.
Tiba-tiba, kepalaku terasa dingin.
Pikirku, minyak di kepalaku berlebihan. Tapi aku sadar, aku tak memakai minyak
rambut sesudah mandi pagi tadi. Lalu, dari mana minyak itu?
Aku mengangkat kepala dari dada
ibuku. Aku menatapnya. Ternyata air mata ibuku yang meminyaki rambutku. Aku
semakin bingung. Seribu satu pertanyaan memenuhi kepalaku di hari ulang tahun
bangsa dan negeriku tercinta.
“Mengapa ibu menangis?” rengekku
dengan penuh harap.
“Nak, apakah kamu lupa?” tanya
ibuku heran.
“Apa yang aku lupa, Bu?”
“Tanggal berapa hari ini?”
“Tanggal 17 Agustus. Hari ini kan
Ulang Tahun Kemerdekaan NKRI. Benar kan Bu?”
“Iya, kamu benar, Nak! Tapi, hari
ini pun hari ulang tahun ibu.”
“Astaga! Maaf Bu, aku lupa. Selamat
ulang tahun, Bu…!” kataku sambil memeluk ibuku erat.
***
Aku memang lupa. Aku sungguh tak
ingat sama sekali. Padahal, ibuku pernah bercerita tentang hari kelahirannya.
Ia menceritakan dengan isak dan tangis mengiringi.
Aku memang pelupa. Tapi, tak semua
hal aku lupakan. Hanya hal-hal yang tak penting yang kulupakan. Sungguh aneh,
tapi nyata. Hari ulang tahun ibuku sangat penting. Tapi, aku lupakan.
Rasaku memang mati akhir-akhir ini.
Pikiranku selalu melayang. Hasratku makin pudar. Aku hanya bertahan dengan nadi
yang terus berdetak. Hanya mata yang melotot, tapi selalu penuh kehampaan.
Mungkin semua itulah alasan aku
menjadi pelupa. Melupakan segala hal dalam hidupku. Melupakan
peristiwa-peristiwa bersejarah dalam hidupku. Bahkan ibu yang melahirkanku, aku
lupakan begitu saja. Bagai makhluk asing yang terdampar tanpa asal, aku
terlempar ke bumi pertiwi ini.
Sungguh, aku kini seorang pelupa.
Melupakan diri. Juga aku melupakan semua. Aku tega melupakan ibu yang darinya
daging, darah, dan tulang ini berasal. Bahkan aku berusaha menghapus hari ini
dari ingatanku. Padahal, hari ini pun hari ulang tahun kemerdekaan negeriku
tercinta. Di sinilah puluhan tahun silam para pejuang menumpahkan darah.
Kini aku sadar, tanpa mereka aku
tiada. Aku pun mungkin tak pernah menyebut diri orang Indonesia. Terima kasih
pahlawanku! Kau selalu kukenang sepanjang zaman.
Komentar
Posting Komentar