Langsung ke konten utama

Terima Kasih, Pahlawanku!



Pagi itu cerah. Semua orang ceria. Canda dan tawa melantun. Harapan makin pasti. Hidup jadi berarti.
Tidak seperti biasanya, semua orang menuju tempat kerja. Pagi ini semua orang menuju tempat yang sama. Di sana sudah menanti beberapa pasukan. Beberapa dari mereka menggunakan pakaian putih-putih. Mereka inilah yang akan mengibarkan Sang Merah Putih, Bendera Indonesia.
Hari ini bersejarah. Menyejarah dengan berbagai peristiwa. Peristiwa yang melibatkan pribadi-pribadi. Pribadi yang kokoh, setia, dan berani. Walau darah tercecer, tulang remuk, dan daging tergilas, semangat mereka tak pernah pudar. “Aku rela mati demi NKRI,” teriak mereka sambil menepuk dada.
***
Di sudut kamar bisu kecil itu, ibuku menangis. Isak dan tangisnya memecah keheningan pagi itu. Sebentar tersenyum, lalu menangis lagi. Sandiwara ini berlangsung lama. Aku jadi panasaran. Ada apa gerangan dengan ibuku.
Kulangkahkan kakiku perlahan. Dengan pasti kudekati ibuku. Lalu aku duduk di sampingnya. Aku menatapnya. Ia membalas tatapanku dalam, lalu tersenyum. Aku menjadi bingung.
Kepalaku ditariknya mesra. Diletakkannya pada dadanya. Aku terharu. Baru kualami lagi setelah puluhan tahun berlalu. Ibuku memperlakukan aku seperti saat aku masih bayi.
Aku masih tetap bingung. Satu hal belum terjawab. Mengapa ibuku bertindak agak aneh pagi ini? Kumencoba mencari jawab, tapi tak kujumpa. Kuhanya berharap pencerahan terjadi pagi ini.
Di tengah kebingunganku, sekelompok paduan suara berkumandang. Lantunan suara mereka bagai aliran sungai. Mengalun pasti dan penuh gairah. Menghangatkan kuping dan menyejukan hati. “Indonesia Raya…!” itulah lagu kebangsaan Indonesia yang dinyanyikan peserta upacara pengibaran Sang Merah Putih di Lapangan Umum yang tidak jauh dari rumahku.
Jari-jari ibuku mengelus-elus rambutku seiring alunan paduan suara itu. Aku semakin terlihat manja. Peristiwa puluhan tahun silam terulang. Waktu bagai diputar kembali. Aku bagai dilahirkan kembali.
Tiba-tiba, kepalaku terasa dingin. Pikirku, minyak di kepalaku berlebihan. Tapi aku sadar, aku tak memakai minyak rambut sesudah mandi pagi tadi. Lalu, dari mana minyak itu?
Aku mengangkat kepala dari dada ibuku. Aku menatapnya. Ternyata air mata ibuku yang meminyaki rambutku. Aku semakin bingung. Seribu satu pertanyaan memenuhi kepalaku di hari ulang tahun bangsa dan negeriku tercinta.
“Mengapa ibu menangis?” rengekku dengan penuh harap.
“Nak, apakah kamu lupa?” tanya ibuku heran.
“Apa yang aku lupa, Bu?”
“Tanggal berapa hari ini?”
“Tanggal 17 Agustus. Hari ini kan Ulang Tahun Kemerdekaan NKRI. Benar kan Bu?”
“Iya, kamu benar, Nak! Tapi, hari ini pun hari ulang tahun ibu.”
“Astaga! Maaf Bu, aku lupa. Selamat ulang tahun, Bu…!” kataku sambil memeluk ibuku erat.
***
Aku memang lupa. Aku sungguh tak ingat sama sekali. Padahal, ibuku pernah bercerita tentang hari kelahirannya. Ia menceritakan dengan isak dan tangis mengiringi.
Aku memang pelupa. Tapi, tak semua hal aku lupakan. Hanya hal-hal yang tak penting yang kulupakan. Sungguh aneh, tapi nyata. Hari ulang tahun ibuku sangat penting. Tapi, aku lupakan.
Rasaku memang mati akhir-akhir ini. Pikiranku selalu melayang. Hasratku makin pudar. Aku hanya bertahan dengan nadi yang terus berdetak. Hanya mata yang melotot, tapi selalu penuh kehampaan.
Mungkin semua itulah alasan aku menjadi pelupa. Melupakan segala hal dalam hidupku. Melupakan peristiwa-peristiwa bersejarah dalam hidupku. Bahkan ibu yang melahirkanku, aku lupakan begitu saja. Bagai makhluk asing yang terdampar tanpa asal, aku terlempar ke bumi pertiwi ini.
Sungguh, aku kini seorang pelupa. Melupakan diri. Juga aku melupakan semua. Aku tega melupakan ibu yang darinya daging, darah, dan tulang ini berasal. Bahkan aku berusaha menghapus hari ini dari ingatanku. Padahal, hari ini pun hari ulang tahun kemerdekaan negeriku tercinta. Di sinilah puluhan tahun silam para pejuang menumpahkan darah.
Kini aku sadar, tanpa mereka aku tiada. Aku pun mungkin tak pernah menyebut diri orang Indonesia. Terima kasih pahlawanku! Kau selalu kukenang sepanjang zaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...