Musim
hujan datang menyapa. Jalanan becek. Genangan air di mana-mana. Aku dan ibu
hanya bisa berselimut beku. Jika fajar menyingsing, harap kami kapan senja
menjemput. Jika sang surya mulai menghilang di antara kisi-kisi tebing gunung
desa, harap kami kapan malaikat pencabut nyawa menjemput.
Tidak
seperti biasa, malam ini angin barat berhembus sayup. Aku masih dalam rangkulan
ibu. Didekap erat penuh maksud mengusir dingin. Hanya itu yang ibu punya. Kedua
tangan hangat selalu menyelimuti diriku dari tusukan angin malam. Aku merasa
nyaman jika ketika malam datang aku sudah stand by di sisi ibu. Ia tak
pernah lelah membungkusku dengan kedua tangan hangatnya.
Aku
tak pernah diabaikan ibu. Ia selalu ada untukku. Setiap malam aku selalu hangat
di bawah ketiaknya, sementara ia hanya bisa berselimut dingin. Ia selalu
memberi aku empuk, tapi ia merebut beku. Aku sedih melihat ibu setiap malam.
Tapi aku masih terlalu lemah untuk membalas kebaikannya. Aku ingin menguatkan
asanya. Tapi itu pun hanya berakhir di benakku. Masih terlalu pagi bagiku untuk
mewujudkannya. Baru 4 tahun lalu aku berhenti menetek dada ibuku. Jadi yang
kupunya hanya tangisan, rengek, dan minta diperhatikan. Hanya itu yang bisa
kuberikan pada ibu.
Aku
ingat betul. Bukan hanya aku yang merengek setiap malam. Aku mendengar suara
lain. Aku masih ingat pasti. Setiap malam mereka datang berlaksa-laksa. Mereka
tak pernah diam. Selalu saja mereka bersuara. Terkadang seperti paduan suara.
Tapi aku sedikit tahu dari salah satu dongeng ibu, paduan suara itu merdu
didengar. Tapi suara-suara ini datar saja. Monoton dan membosankan. Meski
begitu, mereka terkesan sombong. Selalu ingin pamer suara. Mereka lebih suka
dekat ke kuping ibu dan aku.
“Suara
apa tuh, Bu?” aku berani bertanya pada ibu suatu malam.
“Itu
suara nyamuk, Nak!”
“Mengapa
mereka selalu ada di sini?”
“Karena
mereka menjalankan tugas mereka.”
“Tugas? Apa tugas mereka, Bu?”
“Mereka
ditugaskan untuk menghibur ibu setiap malam”
“Jadi,
ibu terhibur?”
“Iya,
Nak!”
“Tapi
aku tidak terhibur, Bu. Suara mereka buruk. Mereka selalu menggangguku
berkonsentrasi saat mendengar dongeng dari ibu. Mereka juga mengagetkanku
dengan suntikan mereka di kupingku. Sakit, juga gatal, Bu. Aku benci mereka!”
“Mereka
hanya menjalankan tugas, Nak! Mereka menghibur ibu setiap malam. Juga mereka
membuat kita agar tetap terjaga. Itu tugas mereka, Nak!”
“Mereka
menjaga kita, Bu?”
“Iya,
sayang…!”
“Berarti
mereka berteman dengan tentara dan polisi, ya Bu?”
“Iya,
Nak! Mereka seperti polisi dan tentara.”
“Berarti
polisi dan tentara juga menusuk kuping kita dan membuat kuping kita gatal, ya
kan Bu?”
“Hahaha…!”
ibuku spontan terkekeh.
“Kenapa
tertawa, Bu? Jawab Bu…! Polisi dan tentara juga seperti nyamuk kan Bu?”
rengekku menuntut jawaban ibu.
“Nanti
juga kamu mengeti, sayang!” bisik ibu tepat di kuping bekas suntikkan nyamuk
tadi sambil mengecup kupingku.
Aku
memang tak mengerti. Sungguh aku dungu. Tak seperti ibu dan orang dewasa lain.
Mereka memahami banyak hal. Tapi mereka pun membuat banyak hal tak terpahami.
Paling tidak ibuku salah buktinya. Banyak teka-teki ia hamburkan setiap hari.
Setiap kali aku ingin tahu, ia selalu mengatakan ‘masih terlalu pagi bagiku untuk
memahami’. Ia lupa kalau ia pernah menjadi kanak-kanak seperti aku saat ini.
Ya,
saat ini aku selalu ingin tahu. Eksplorasi, kata om-ku melukiskan hari-hariku.
Aku ingin tahu banyak hal. Aku mencoba semua yang kusukai. Aku memang tak
memahami banyak hal. Tapi aku merasakan kehadiran mereka. Aku yakin mereka ada.
Sekurang-kurangnya semua hal yang kuindrai, kuyakini mereka ada bagiku dan
bersamaku.
Bukan
hanya itu. Aku ingin tahu, apakah yang kuyakini juga ada bagiku. Aku lihat dia
pada teman-teman sebayaku. Mereka memilikiknya. Mereka mencintainya. Mereka
memanjakan diri padanya. Tapi di mana dia? Apakah aku hanya berilusi, karena
aku sering berfantasi. Aku sering membayangkan terbang bersama burung-burung di
angkasa. Aku tidur di atas awan. Aku memancarkan sinar seperti kilat. Aku ingin
tahu, apakah aku pun memilikinya? Apakah aku pun akan pernah merasakan
kehadirannya. Atukah hanya teman-temanku yang memilikinya?
Denias,
teman sebayaku selalu berkisah tentang semua yang ia miliki. Ia selalu berkisah
tentang orang yang selalu bermain bersamanya. Ia memanggilnya, ‘ayah!’
Di
mana ayahku? Apakah Denias itu laki-laki sehingga dia hanya mempunyai ayah,
sedangkan aku hanya memiliki ibu karena aku ini perempuan? Tapi kalau begitu,
mengapa teman-teman yang lain punya ayah dan ibu? Aku tak tahu.
***
Malam
datang lagi. Di luar mendung. Dewi malam tak tampak. Sepertinya ia tahu kalau
aku galau. Ia tak tersenyum malam ini. Ia tak ceria. Gugusan-gugusan awan tebal
membalut bibirnya. Aku sedih. Mengapa malam ini jadi seperti ini? Aku tahu ia
pun sedih. Karena sudah sangat lama kami bersahabat. Kami mampu saling memahami. Apa yang ia rasakan, aku pun rasa.
Begitu pula sebaliknya. Tak ada dua rasa di antara kami. Hanya ada satu rasa.
Meski tak terungkap lewat kata-kata. Tapi kami saling merasa. Dan kami yakin,
karena satu rasa, kami begitu erat.
Kami
pun selalu saling memberi asa. Juga kami tak segan saling meniupkan kasih. Ia tak lelah berbagi kisah indah, meski
hanya lewat senyum simpul yang ditabur. Tapi sayang, tidak untuk malam ini.
Hanya ada cemberut. Seperti kecewa, juga frustrasi. Tampak jelas ia sangat
sedih. Itulah sebabnya aku sangat sedih malam ini. Aku tak kuasa menahan pedih.
Dadaku terasa perih. Deraian air mata perlahan membanjiri pipiku. Aku meraung
protes. Mengapa awan begitu tega malam ini? Memisahkan dua hati yang telah lama
bersatu. Tangisanku menjadi. Barangkali sang dewi malam pun ingin menangis
seperti aku.
Tepat
dugaanku. Sang dewi malam meneteskan air matanya membasahi bumi. Dari kisi-kisi
gugusan awan tebal tadi, ia menangis. Aku pun histeris. Mengapa kami selalu
meneteskan air mata di kala sedih? Apakah ia dewi terlembah di jagat raya ini?
Bukankah di akhir dongeng setiap malam ibu selalu berpesan, aku harus selalu
kuat? Atau apakah memang benar apa kata orang,
kami selalu menangis karena kami ini perempuan?
Ah…,
aku terlalu banyak melamun malam ini. Aku baru siuman dari lamunanku ketika
segerombolan masa memanggil namaku.
“Rosa...,
Rosa…, jatuhkan dirimu dari situ. Ayo, Nak! Om akan menangkapmu. Cepat
sayang…!”
Tanpa
pikir panjang, aku pun menjatuhkan diri dari atap gubuk kami tepat dalam
pelukan om Andre. Pria itu langsung mendekap aku erat. Ia sengaja merapatkan
wajahku pada dadanya. Aku ingin membalikkan wajahku. Tapi, ia tetap menekan
kepalaku kembali ke dadanya.
Aku
jadi takut. Tapi aku juga penasaran. Ada apa gerangan? Jangan sampai om Andre
ingin melecehkan aku. Aku berontak.
“Om,
mau apa ini?”
“Sebentar
saja, Sayang…!”
“Lepaskan
aku!” teriakku sambil menggigit dada om Andre.
Aku
berhasil membalikkan wajahku. Ya, Tuhan…!
“Di
mana ibu?” protesku pada om Andre sambil memukul dadanya.
“Tenang
Sayang…!” om Andre berusaha menenangkan.
“Di
mana ibu, Om?” tangisku makin menjadi.
“Ibu
sudah pergi, Sayang!” bisik om Andre di kupingku.
Aku
kembali membenamkan wajahku ke dada om Andre. Seketika itu juga aku merasakan
air mata om Andre membanjiri wajahku yang mungil. Aku pun diberi tahu, ibuku
telah dibawa banjir menuju laut.
Oh,
Tuhan…! Inikah cara-Mu mencintaiku? Ternyata dewi malam sudah tahu kepergian
ibuku. Pantas ia tak tersenyum malam ini. Ia sungguh sahabat sejatiku. Ia tak
mahal tersenyum bersama orang yang tersenyum. Tapi juga tak malu menangis
bersama orang yang menangis.
Aku
tak punya siapa-siapa lagi sekarang. Ayah tak pernah punya. Ibu pun sudah tak
punya. Tinggal aku sendirian. Mudah-mudahan om Andre mau menerimaku di
rumahnya.
***
“Rosa!”
“Iya,
om!”
“Ayo,
main sama Denias sana!” bujuk om Andre sambil mengarahkan telunjuknya ke arah
putranya yang sedang bermain mobil-mobilan yang terbuat dari sandal bekas.
“Rosa…!”
panggil om Andre lagi
“Iya,
om!” balasku lesu.
“Senyum
dong, Sayang…!” om Andre berusaha mengihiburku untuk kesekian kalinya.
“Rosa!”
panggil om Andre untuk ketiga kalinya.
Aku
bingung. Mengapa om Andre memanggil namaku tiga kali tanpa jeda lama.
“Iya,
om!” jawabku sambil melayangkan pandanganku ke arah om Andre.
“Sudah
hampir setahun kamu tinggal bersama kita. Panggil saja aku, ‘Ayah’! Juga
panggil Denias, ‘Kakak’!” kata om Andre mendekatiku sambil menyapa rambutku
manja.
“Iya,
om, ehhh…Ayah!” sahutku sambil tersenyum paksa.
***
Om
Andre dan Denias begitu baik padaku. Mereka selalu memperlakukanku manja. Aku
terbayang kehangatan ibu selama sejak hari pertama bersama mereka. Aku
merasakan ibuku dalam diri mereka. Tapi tetap berbeda, sungguh beda. Sejak
tinggal bersama mereka, aku tak pernah lagi menatap sang dewi malam yang tengah
beredar di peraduannya. Aku hanya bisa menikmati cahayanya setiap malam lewat
kisi-kisi dinding bambu rumah Denias. Aku juga tak lagi mendengar dongeng
seperti yang dulu dilakukan ibu.
Hari-hari
hidupku kini gersang. Mulutku lebih banyak terkatup. Lidahku sering melekat
pada langit-langit mulutku. Tenggorokanku perih terasa disayat beling. Asaku hampa. Hidupku tak berarti.
Aku
sudah mencoba menerima om Andre sebagai ayah dan Denias sebagai kakak. Tapi
tetap sulit bagiku. Rasanya panggilan ‘Ayah’ dan ‘Kakak’ hanya sebatas bibir.
Hatiku tetap menganggap mereka sebagai orang asing. Aku tak tahu, sampai kapan
aku harus begini.
Dusun Pojok, 7
februari 2014
Komentar
Posting Komentar