Langsung ke konten utama

Birokrasi Tua-Muda



Aku berdiri di bawah pohon beringin. Rindang dan sejuk. Dari sini, aku mengamati mereka.
Aku memang jauh. Namun, aku masih bisa melihat semua dengan jelas. Memang itulah maksudku. Mengambil distansi! Tak begitu jauh, juga tak begitu dekat. Biar lebih jernih aku berpikir. Lebih tulus aku merasa. Lebih objektif aku menilai. Juga lebih tepat aku bertindak.
Masih dari sini aku menatap mereka. Aku sadar tak membuang waktu terus mematung di sini. Galau pikiranku bukti berartinya keberadaanku di sini. Tak sia-sia aku terus di sini. Dari sini aku berusaha memahami mereka. Walau samar-samar pancaran mereka padaku, tetapi aku masih bisa mengenal mereka. Memang tidak mendalam, tapi aku memahami ucapan mereka. Percakapan heboh mereka melilit aku berkutat memahami. Pikiranku menjinjit ingin mengintip isi percakapan mereka.
Masih di sana kedua sosok itu saling mengadu. Andi dan ayahnya. Mereka saling unjuk kebolehan. Juga mereka saling meruntuhkan pendapat dan pendirian. Masing-masing tak ingin dianggap rendah oleh yang lain, juga tak tega ikut arus pemikiran yang lain.
Andi bicara sangat keras. Ia unjukkan keperkasaan. Terkesan membentak ayahnya yang sudah tua renta. Kegagahan tampak di matanya. Gairahnya berbinar penuh kuasa. Tak peduli apakah masih perlu sopan santun. Baginya, etika bicara ramah pada kaum tua hanyalah mitos untuk mengekang kebebasan.
Ayahnya, pak Edi, pun tak mau kalah. Memang ia sabar mendengarkan ocehan anaknya. Namun, ia anggap remeh semuanya. Baginya, tuntutan kebebasan dari Andi hanyalah kebodohan. Jauh dari kebijaksanaan jika Andi ingin hidup bebas. Bahkan Andi bisa saja brutal. Kebebasan tak pernah bisa diperjuangkan. Dan memang tak perlu. Karena kebebasan itu bukan sesuatu di luar sana. Kebebasan itu ada dalam diri, bagian dari diri manusia. Begitulah tegas si tua, pak Edi.
Aku termangu menyaksikan sandiwara itu. Kedua sosok itu lucu. Juga keduanya memprihatinkan. Ayah dan anak memainkan parodi. Mempertahankan ego masing-masing. Mereka bahkan tak peduli pada hubungan darah yang mengikat begitu kencang. Juga mereka tak menghiraukan detak jantung yang serentak berdentum menghitung hari-hari hidup mereka. Semua dibiarkan mengalir begitu saja tanpa percikan yang saling menyejukkan.
Masih di sana Andi meraung menuntut kebebasan. Keyakinannya teguh, bisa membangun dunia dengan keperkasaan. Kekuatan adalah satu-satunya senjata andalan Andi. Ia tak peduli pada segala sistem, karena hanya akan mengekang kreativitasnya. Juga sistem hanya akan mengulur-ulur waktu untuk melakukan perubahan. Baginya, tak ada waktu lain selain ‘sekarang’! Kemarin telah tiada, juga esok mungkin tak pernah datang. Kemarin dan esok hampa. Tersisa hari ini, sekarang, dan di sini. “Hanya itu yang manusia punyai,” gumam Andi yakin, “apalah gunanya menghitung-hitung hari kemarin dan terlalu mengharapkan masa depan?”
***
Semua masih misteri. Aku semakin bingung akan ucap bibir Andi dan pak Edi. Pak Edi berujar pasti. Andi pun berkata yakin. Tak kutahu mana yang harus kuikuti. Namun, tampaknya Andi berbicara polos. Ia menyingkap semua sisi gelap zaman ini. “Tak perlu sistem di zaman edan ini,” katanya. Semua manusia perlu bebas –dan memang harus bebas membuat perubahan. Perubahan jangan dibingkai dengan birokrasi bobrok.
Begitulah watak pemuda, si Andi. Darahnya mengalir kencang. Nadinya berdetak seirama jantung. Gairahnya melonjak. Mimpinya mengumbar. Asanya diandalkan. Hidup digenggam, hingga tak kuasa bila menahan pena lukisan sejarah.
Andi sudah muak dengan semua sistem birokrasi. “Birokrasi kita, birokrasi edan,” gumamnya. Birokrasi kita telah mengacaukan hidup. Birokrasi ini, birokrasi KKN. Kejujuran tiada. Kreativitas sirna. Usaha hampa. Keharmonisan lenyap. Darah ‘para martir’ bangsa ditaburi dusta. Sandiwara berjaya. Akhirnya, politik tinggallah judul manis yang membingkai kebobrokan rezim. Padahal, birokrasi itu ladang subur bagi politik –dan politik itu seni mengatur hidup.
Sudah lama Andi rindu pada seni ini, seni mengatur hidup. “Itulah politik yang ideal,” ungkap Andi yakin. Seni itu tak bisa dibatasi –dan memang tak mungkin dibatasi. Seni itu seperti kuda liar yang melonjak ke sana kemari. Tampaknya tak terarah, tetapi penuh makna. Melonjak penuh gairah tanpa dikekang siapa pun, tetapi selalu indah dan kokoh. Lonjakan dan loncatannya tak membuat bosan. Juga rasa capai jauh dari hasratnya. Itulah kuda liar. Bertindak sesukanya, tetapi tak merusak apa pun dan siapa saja. Ia melukis hidupnya penuh gairah dan kebebasan, sehingga semuanya tampak seperti pelangi sehabis hujan, indah dan menjanjikan senyum penuh harapan.
“Politik itu memang seni untuk mengatur hidup,” ungkap Andi sekali lagi, “jangan terkungkung dalam sistem, apalagi dibekukan dalam birokrasi bobrok, ia harus lepas dari genggaman ideologi, juga lepas dari nafsu rezim.” Biarkan dia terbang seperti burung gagak. Melayang di udara sesuka hatinya. Mengepakkan sayap penuh ceria. Menatap hari penuh gairah. Juga mengadu nasib penuh harapan.
Itulah burung gagak. Penciumannya yang tajam, juga rasanya yang sensitif membuat dia tak mau ketinggalan sehari. Walau sekali saja ia bersuara, semua orang insaf akan bahaya yang akan segera menerjang. Walau sering dituduh sebagai pembawa malapetaka, hasratnya tak mampu membendungnya bersuara. Meski hanya indra dan naluri senjatanya, ia tak tega terus mengembara dalam mimpi. Ia memang terlahir dalam mimpi, tetapi bukan di sana istananya. Naluri mendorong dia bangkit dari mimpi. Asa menggenggam nadinya. Sekali kepakan sayap, dua kali, tiga kali, dan seterusnya tak membuatnya jerah, walau hanya bangkai hadiahnya.
***
Tak kusangka, aku tengah melamun.  Membayangkan politik bagai burung gagak. Namun, lamunanku tak sia-sia. Ternyata,  lamunanku terbaca di raut wajah Andi. Ia tahu persis apa maksud lamunanku. Syair parodi pada ayahnya menjadi buktinya. Tiba-tiba ia meraung bagai harimau. Lengkingan suaranya memecah jagat raya. Tak malu ia menghentak ayahnya yang sudah tua renta. “Politik itu harus turun dalam hidup, Ayah,” raung Andi pada ayahnya.
Semakin tampak cerah bagiku. Aku semakin menangkap pancaran wajah kedua sosok itu dari balik serabut akar beringin yang tersusun rapi bagai dipilin. Keteduhan beringin ini membuat aku betah berlama-lama di sini. Aku bahkan sampai tak sadar kalau aku dinaungi rimbunan daunnya.
Kini aku semakin tahu siapa mereka. Si tua, pak Edi, ingin mewarisi takhtanya pada putranya. Namun, Andi tak mau lagi tunduk pada rezim yang bobrok. Si muda itu sudah muak dengan semua sistem birokrasi yang bobrok. Ia ingin suatu lembaran baru. Pena sudah di tangannya. Tak sabar lagi ingin ia goreskan. Sejarah baru ingin dilukisnya indah. Ingin ia pilin kokoh hidupnya bak istana khayangan.
Si tua kembali merengek bagai anak kecil. Lucu memang! Ia merengek pada putranya sendiri, juga merayu. Namun, rengekan dan bujuk rayunya tak digubris putranya. Segala usaha mencuci otak putranya untuk mengikuti pemikirannya  menjadi sia-sia. Akhirnya, cara klasik kembali berkisah. Dua puluh lima tahun silam terulang lagi. Pak Edi merapatkan posisinya. Andi pun pasrah menatap sosok tua yang sudah renta itu. Dua sosok itu tampak begitu akrab sampai-sampai tampak seorang saja dari jarak pandang di mana aku mengintip.
Bisikan halus sang ayah kembali mendesus di kuping kiri putra kesayangan. “Aku sayang kamu, Nak! Aku tak tega melihat kamu menderita.” Suara lembut yang tak asing lagi ini menghanyutkan Andi.
Hati Andi tenang. Kembali ia teringat akan kisah kasih yang indah semasa balita. Juga ia teringat akan cerita masa lalunya saat dipapah sang ayah untuk berlatih berjalan. Andi membayangkan jatuh bangunnya saat diajari melangkah. Tertatih-tatih dan lugu, tetapi sang ayah selalu setia menuntun.
Kenangan masa kecil kembali menyapa. Sungguh bisikan ayahnya menghanyutkan. Hanya dengan satu bisikan, Andi terlihat luluh laksana lilin ditiup angin dari segala arah. Pikirannya berserakan bagai hamburan daun di musim gugur.
Inilah kesempatan baik untuk pak Edi. Perlahan pak Edi memasukkan tangan ke kantong celananya. Didapatinya segenggam dari isi kantongnya. Warnanya seperti pelangi. Indah dan menawan! “Mungkin ini hadiah terindah untuk putranya,” sangkaku ceroboh.
Aku penasaran. Aku ingin lebih dekat ke sana. Kuingin tahu pasti, biar hasratku terpenuhi. Namun, hal ini tak mungkin kulakukan. Aku tak punya alasan yang tepat untuk mendekat. Aku pun takut, jangan-jangan mereka tahu kalau sudah sejak sore tadi aku menguping. Lebih baik bagiku jika niat ini ku-urung saja. Biar aku tetap di sini. Kunantikan saja apa yang akan terjadi. Tak apalah jika aku hidup dalam lamunan dan prasangkaku sekarang. Sebentar lagi aku tahu yang sebenarnya.
“Mungkin tanda diplomasi,” gumamku menyaksikan tindakan pak Edi yang penuh teka-teki. Eros pikiranku semakin menjadi. Aku tak sabar menanti. Aku ingin tahu segera. Namun, bagaimana caranya? Aku bingung. Hari sudah senja. Sebentar lagi gelap pun menyapa. Pandanganku semakin kabur. Hatiku resah. Nadiku mengalir kencang. Dentuman jantungku berkejaran satu sama lain. Rasaku jadi mati. Pikiranku galau. Asaku pun hampir pupus. Sia-sia saja aku mematung di sini begitu lama tanpa tahu hasil akhirnya.
Dari sini, di bawah pohon beringin ini, aku masih berdiri kokoh di sini. Aku memang tak tega mendekat. Aku pun tak mau pergi begitu saja. Aku akan terus mematung di sini. Mungkin sebentar lagi kutahu jawabannya. Teka-teki ini akan segera dipecahkan. Misteri ini pun akan semakin tersingkap.
Dari kejauhan, mataku masih bisa menangkap mereka. Kulihat pak Edi terus merayu putranya. Dihiburnyalah hati putranya dengan beberapa lembar daun merah dengan penuh harapan putranya membelot. Namun, putranya tetap pada pendirian. “Justru itu yang aku tak suka, Ayah,” tanggap Andi tegas pada ayahnya yang berusaha memasukkan sejumlah uang ke kantong bajunya.
Pak Edi kaget. Tak biasa sikap putranya ditemui di tengah zaman edan ini. Kini ia insaf. Usaha membelotkan Andi dari pendiriannya hanya berujung pada kehampaan.  Namun, pak Edi tak tega mengikuti arus brutal putranya itu. “Mengharapkan perubahan dengan hanya mengandalkan kebebasan dan kekuatan itu mustahil, Nak,” bisik pak Edi pada putranya meyakinkan.
Tampaknya keduanya sulit dipertemukan. Si tua dan si muda, masing-masing kokoh pada pendirian. Namun, mereka tak saling membenci. Andi tak ingin ayahnya terus terkungkung dalam sistem yang mematikan kreativitas. Memperjuangkan kebebasan, bagi Andi, bukti cintanya pada ayahnya. Ia ingin membebaskan ayahnya dari kungkungan sistem birokrasi bobrok yang sudah berabad-abad menjajah ayahnya.
Begitu pula pak Edi. Ia tak sudi melihat putranya mati ditelan arus zaman edan. “Andi, bisa saja kamu menjadi anarkis, juga mungkin sulit kamu merebut jatah ayah yang seharusnya mendahului kamu pergi dari zaman edan yang bobrok dan kejam ini,” katanya untuk penghabisan kali membujuk Andi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...