Langsung ke konten utama

Takut Sakit?



Keringat membanjir membasahi tubuhnya. Perih kerongkongan mulai merongrongnya. Napasnya terengah-engah. Detak jantungnya kencang. Nadi-nadinya tegang. Hatinya resah. Semangatnya sirna. Harapannya untuk mencapai puncak bukit itu pun pudar. Pemuda itu tinggal seorang diri saja di lereng bukit itu.
Kini ia terpaku, diam dan membisu. Ia mematung tegang, lalu kulai lemas. Sementara kakinya yang tertikam duri itu mulai membanjiri lereng bukit itu dengan aroma darah segar, darah seorang pemuda perkasa dan tampan. Duri di kakinya itu pun semakin memerihkan nadi-nadinya.
Ia ingin mengeluarkan duri itu. Ia takut jika duri itu tetap ada dalam kakinya. Namun, ia lebih takut mengeluarkannya, karena takut merasa sakit saat mengeluarkannya.
Sebetulnya, ia takut akan pikiran dan perasaannya sendiri, dan bukannya takut akan apa yang sedang ia alami. Ia takut akan apa yang belum terjadi. Ia lebih takut akan rasa sakit yang akan dialami saat mengeluarkan duri itu daripada rasa sakit yang sedang ia alami. Ia lupa kalau rasa sakit itu akan segera berakhir setelah mengeluarkan duri itu.
Ia pasrah pada keadaannya itu. Hanya satu hal yang ia lakukan. Yang ia lakukan hanyalah menangis histeris. Harapannya, biar ada orang yang datang dan menolongnya setelah mendengar tangisannya.
***
Satu jam, dua jam, tiga jam penuh sengsara. Sesudah tiga jam berlalu, barulah ia ditemukan oleh seorang kakek tua yang kebetulan lewat di situ. “Syukur ada orang yang datang!” gumam pemuda itu.
“Kek…, tolong aku!” rengek pemuda itu penuh harap.
Sambil mendekapnya, kakek itu bertanya, “Siapa namamu, dan dari mana asalmu?”
“Namaku Yosua. Aku berasal dari lembah gersang itu!”
“Lalu, mengapa kamu ada di sini, Nak?” Tanya kakek itu ingin tahu.
“Aku ingin ke puncak bukit itu. Banyak orang sudah lama menungguku di sana. Aku akan segera dinobatkan sebagai raja mereka setiba aku di sana. Namun, duri ini menjadi penghalang bagiku. Duri ini membuatku tak mampu melanjutkan perjalananku ke sana.”
“Lalu, mengapa kamu menangis saja? Mengapa kamu tidak segera mengeluarkan duri itu biar cepat tiba di puncak bukit itu?” bujuk kakek itu sambil tersenyum simpul.
“Kek…! Aku takut akan rasa sakit saat aku mengeluarkannya,” adu pemuda itu.
“Nak..! Sakit? Kamu takut sakit? Sakit, memang pasti sakit. Tapi, kamu harus tahu bahwa sesudah semua ini, kamu akan merasa nyaman. Lalu, kamu pasti bisa meneruskan perjalananmu ke puncak bukit itu, dan di sana kamu akan bahagia selamanya!” bujuk kakek itu sekali lagi meyakinkannya.
Usul baik itu diterima Yosua pemuda malang itu. Kakek itu membantu mengeluarkan duri itu. Yosua meraung histeris karena sakit. Tak lama kemudian, duri itu pun bisa dikeluarkan.
Kini Yosua pemuda yang akan dinobatkan menjadi raja itu merasa lega. Darah yang tadinya membanjir, perlahan-lahan mulai menetes, lalu kering. Setelah istirahat beberapa menit, ia kemudian merasa bisa melanjutkan perjalanannya lagi. Akhirnya, ia pun tiba di puncak bukit itu.
Sungguh, banyak orang sudah lama menanti kedatangannya. Saat ia tiba sorak-sorai mereka menggema hingga menyusuri lembah bukit itu. Kini, rasa sakit pada kakinya hilang bagai sekali kedipan kedua kelopak mata. Yang ada hanyalah sukacita, senyum dan canda tawa. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan.

Timor 2011/2012

Todi Manek, CMF

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...