Keringat membanjir membasahi tubuhnya. Perih
kerongkongan mulai merongrongnya. Napasnya terengah-engah. Detak jantungnya
kencang. Nadi-nadinya tegang. Hatinya resah. Semangatnya sirna. Harapannya
untuk mencapai puncak bukit itu pun pudar. Pemuda itu tinggal seorang diri saja
di lereng bukit itu.
Kini ia terpaku, diam dan membisu. Ia mematung tegang,
lalu kulai lemas. Sementara kakinya yang tertikam duri itu mulai membanjiri
lereng bukit itu dengan aroma darah segar, darah seorang pemuda perkasa dan
tampan. Duri di kakinya itu pun semakin memerihkan nadi-nadinya.
Ia ingin mengeluarkan duri itu. Ia takut jika duri itu
tetap ada dalam kakinya. Namun, ia lebih takut mengeluarkannya, karena takut
merasa sakit saat mengeluarkannya.
Sebetulnya, ia takut akan pikiran dan perasaannya
sendiri, dan bukannya takut akan apa yang sedang ia alami. Ia takut akan apa
yang belum terjadi. Ia lebih takut akan rasa sakit yang akan dialami saat
mengeluarkan duri itu daripada rasa sakit yang sedang ia alami. Ia lupa kalau
rasa sakit itu akan segera berakhir setelah mengeluarkan duri itu.
Ia pasrah pada keadaannya itu. Hanya satu hal yang ia
lakukan. Yang ia lakukan hanyalah menangis histeris. Harapannya, biar ada orang
yang datang dan menolongnya setelah mendengar tangisannya.
***
Satu jam, dua jam, tiga jam penuh sengsara. Sesudah tiga
jam berlalu, barulah ia ditemukan oleh seorang kakek tua yang kebetulan lewat
di situ. “Syukur ada orang yang datang!” gumam pemuda itu.
“Kek…, tolong aku!” rengek pemuda itu penuh harap.
Sambil mendekapnya, kakek itu bertanya, “Siapa namamu,
dan dari mana asalmu?”
“Namaku Yosua. Aku berasal dari lembah gersang itu!”
“Lalu, mengapa kamu ada di sini,
Nak?” Tanya kakek itu ingin tahu.
“Aku ingin ke puncak bukit itu. Banyak orang sudah
lama menungguku di sana. Aku akan segera dinobatkan sebagai raja mereka setiba
aku di sana. Namun, duri ini menjadi penghalang bagiku. Duri ini membuatku tak
mampu melanjutkan perjalananku ke sana.”
“Lalu, mengapa kamu menangis saja? Mengapa kamu tidak
segera mengeluarkan duri itu biar cepat tiba di puncak bukit itu?” bujuk kakek
itu sambil tersenyum simpul.
“Kek…! Aku takut akan rasa sakit saat aku
mengeluarkannya,” adu pemuda itu.
“Nak..! Sakit? Kamu takut sakit? Sakit, memang pasti
sakit. Tapi, kamu harus tahu bahwa sesudah semua ini, kamu akan merasa nyaman.
Lalu, kamu pasti bisa meneruskan perjalananmu ke puncak bukit itu, dan di sana
kamu akan bahagia selamanya!” bujuk kakek itu sekali lagi meyakinkannya.
Usul baik itu diterima Yosua pemuda malang itu. Kakek
itu membantu mengeluarkan duri itu. Yosua meraung histeris karena sakit. Tak
lama kemudian, duri itu pun bisa dikeluarkan.
Kini Yosua pemuda yang akan dinobatkan menjadi raja
itu merasa lega. Darah yang tadinya membanjir, perlahan-lahan mulai menetes,
lalu kering. Setelah istirahat beberapa menit, ia kemudian
merasa bisa melanjutkan
perjalanannya lagi. Akhirnya, ia pun tiba di puncak bukit itu.
Sungguh, banyak orang sudah lama menanti
kedatangannya. Saat ia tiba sorak-sorai mereka menggema hingga menyusuri lembah
bukit itu. Kini, rasa sakit pada kakinya hilang bagai sekali kedipan kedua
kelopak mata. Yang ada hanyalah sukacita, senyum dan canda tawa. Yang tersisa
hanyalah kebahagiaan.
Timor 2011/2012
Todi
Manek, CMF
Komentar
Posting Komentar