Langsung ke konten utama

Merintih di Tengah Kegelapan


Yogar, putra bapa desa Nun-ana’, adalah orang yang sangat pandai. Parasnya elok. Dagunya anggun. Matanya bening berbinar-binar. Tatapannya memecahkan kabut pagi. Pundaknya kekar. Lengannya perkasa. Tak ada anak seusianya yang sekokoh dia. Sungguh, dia itu  bagai pangeran desa.
Ia rajin. Ia tekun. Karena itu, tak heran kalau ia berhasil dalam berbagai hal. Prestasi dan prestisenya tak dapat ditandingi –apalagi ia seorang putra kepala desa. Namun, ia tidak suka diatur. Ia keras kepala. Ia tak mau mendengarkan orang lain. Ia hanya mau melakukan apa yang dia mau lakukan. Akibatnya, tidak jarang ia celaka. Reputasinya yang cemerlang karena keberhasilannya terkadang menurun karena ia dalam situasi kritis akibat kecelakaan.
***
“Yogar! jangan lupa membawa senter!” Tegas ayah Yogar mengingatkan putranya itu, yang tengah beranjak menuju samping rumah memungut beberapa potong kayu bakar.
“Ah…, ayah! Aku tahu ko… di mana letak kayu bakar itu. Untuk apa lagi aku membawa  senter?” Sambar Yogar menolak tawaran ayahnya.
“Nak…!! di luar sana sangat gelap. Bawalah senter supaya menerangi kamu, biar mudah mendapatkan beberapa kayu bakar itu!!” Bujuk ayahnya lagi.
“Tidak usah ayah…!! Aku tahu tempat beberapa kayu bakar itu! Ayah jangan meragukan kemampuanku. Ini aku, aku anakmu yang hebat. Mataku lebih terang daripada mata kucing,” balas Yogar dengan nada setengah sombong sambil menepuk dadanya.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah…, yah tiga langkah sudah dia berjalan menuju tumpukkan kayu bakar itu. Tiba-tiba…
“Aduh…kakiku!!”, raung Yogar histeris, “Ayah…, ayah…, kakiku ditikam beling, ayah… tolong ayah…!!”
Yogar berusaha meraih kakinya yang sudah berlumuran darah. Namun, baru saja jari-jari tangannya tiba pada kakinya yang tertikam itu, seekor kalajengking menyambutnya dengan sebuah salam hangat. Ya, tangannya disengat kalajengking.
Lengkaplah sudah penderitaannya, merintih di tengah kegelapan, sendiri menanggung akibat kesombonganya. Yogar menyesal, ingin marah. Namun, pada siapa harus marah. Siapa yang harus ia persalahkan. Akhirnya, ia sadar bahwa ia tak bisa hanya mengandalkan kemampuannya sendiri – dalam kegelapan, ia butuh dan memang harus butuh penerangan. Ia lalai. Akibatnya, ia sendirilah yang menanggungnya.
“Yogar!!” Panggil ayahnya dengan nada meneguhkan, “kamu harus selalu siap sedia karena di luar sini banyak hal yang bisa membuat kamu celaka. Di luar sini sangat gelap. Kamu harus membawa penerang – karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kamu! Berjaga-jagalah…!!”  “Iya ayah…! Maafkan aku!” Rengek Yogar setengah manja.


Timor 2011/2012
Todi Manek, CMF


Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...