[Sebuah
Analisis Kritis Bertolak dari Teks Amos 9:7]
I.
PENGANTAR
Dalam
kehidupan bersama, tentu ada suatu hal yang mengikat relasi. Sulit dibayangkan
kita hidup bersama dengan baik tanpa sesuatu atau seseorang yang mengikat. Bisa
jadi pengikat hidup bersama itu adalah karena satu hubungan darah atau
keturunan, satu asal, atau bisa juga karena satu tujuan. Selain itu, intimnya
relasi dalam hidup bersama bisa juga dibangun atas dasar suatu janji.
Dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali perjanjian atau konsensus yang kita
jumpai. Perjanjian-perjanjian ini biasanya mempunyai batasan waktu tertentu.
Bahkan perjanjian-perjanjian itu bisa dibatalkan oleh salah satu pihak jika
terjadi pengkhianatan dari partner perjanjian. Namun, umumnya suatu perjanjian
atau konsensus semakin mempererat hubungan di antara pihak-pihak yang
mengadakan konsensus. Konsekuensinya, kedua belah pihak bisa jadi semakin lama
menjalin suatu relasi, mereka semakin saling menghargai, menghormati, bahkan
saling mencintai.
Hal serupa
terjadi dengan hubuangan antara YHWH dan bangsa Israel. Oleh karena suatu
perjanjian, keduanya memulai suatu relasi yang sangat khusus: suatu relasi
kesayangan antara seorang TUHAN dan suatu bangsa-umat (Kel 19:5). Relasi ini
bukan sembarang relasi, karena dibangun atas dasar suatu keterpilihan (Ul 7:6).
Fakta inilah yang membuat bangsa Israel sampai pada suatu penemuan akan
identitas dirinya, yakni sebagai suatu ‘bangsa yang utama’ (Am 6:1) di antara segala bangsa di
muka bumi ini.
Terkait
dengan proklamasi diri Israel sebagai suatu bangsa yang utama, YaHWeH melalui
nabi-Nya Amos dengan tegas menggugat. Dua pertanyaan retoris yang berisikan
perbandingan dengan bangsa-bangsa lain menampar telak arogansi bangsa Israel
terkait dengan identitasnya sebagai bangsa pilihan dan kesayangan YHWH.
“Bukankah kamu SAMA SEPERTI orang Etiopia bagi-Ku, hai orang Israel?”
demikianlah Firman Tuhan – “Bukankah Aku telah menuntun orang Israel keluar
dari tanah Mesir, orang Filistin dari Kaftor, dan orang Aram dari Kir?” (Am
9:7).
Spontan
muncul pertanyaan: bukankah bangsa Israel adalah bangsa pilihan dan menjadi bangsa
kesayangan YHWH? Mengapa dalam Amos 9:7 ini dikatakan bahwa mereka SAMA SEPERTI
bangsa lain? Inilah yang menjadi alasan mendasar mengapa judul “Memaknai
Keterpilihan Bangsa Israel dalam Kitab Amos” dipilih. Oleh karena itu, dalam
tulisan ini, pertanyaan yang akan secara implisit dijawab, antara lain; 1)
bagaimana proses keterpilihan bangsa Israel; 2) mengapa sampai bangsa Israel
menemukan diri (dengan arogan) sebagai ‘bangsa yang utama’; dan akhirnya 3)
mengapa bangsa Israel dikatakan SAMA SEPERTI bangsa-bangsa lain, yakni seperti
orang Etiopia, orang Filistin, dan orang Aram (Am 9:7)?
II.
MEMAKNAI
KETERPILIHAN BANGAS ISRAEL
a)
Memaknai
Identitas Israel sebagai Bangsa Pilihan
Dalam
pengantar, jelas terungkap bahwa persoalan yang mau diusut adalah ketegangan
antara arogansi bangsa Israel sebagai bangsa pilihan dan gugatan YHWH melalui
Amos terhadap arogansi mereka (9:7). Namun terlebih dahulu akan diuraikan
proses terbentuknya atau lahirnya Israel sebagai bangsa pilihan dan kesayangan
YHWH.
Ketika bangsa
Israel masuk dan menetap di Kanaan, tak bisa dielak lagi bahwa mereka
terpengaruh, atau lebih tepatnya saling mempengaruhi, dengan bangsa-bangsa
lain. Karena itu, pada zaman Yosua, bangsa Israel masih bersikap offensif[1].
Israel belum bisa hidup sebagai suatu bangsa yang menganut monoteisme murni,
melainkan henoteisme. Maksudnya, di samping YHWH, ada kelompok orang yang diberi
pilihan untuk menyembah allah selain YHWH. Hal ini tampak jelas dalam
pernyataan Yosua di Sikhem (Yos 24:14-15).
Berbeda
dengan zaman Yosua, pada abad ke-8 SM, Israel mulai bersikap defensif. Namun
ini tidak berarti Israel sudah bebas dari berbagai pengaruh bangsa-bangsa lain.
Albright menunjukkan bahwa angka-angka perbandingan pemakaian nama Baal dan
YHWH di Israel Utara pada waktu itu adalah 7:1. Maksudnya jika nama Baal
dipakai 7 kali, nama YHWH 11 kali[2].
Jadi sampai abad ke-8 SM pun, Israel Utara masih hidup dalam sinkretisme. Meski
demikian, selalu ada usaha untuk mempertahankan identitas diri dari serangan
politis dan agamis
yang datang dari bangsa-bangsa lain di sekitar Israel, khususnya Asyur. Bangsa
Israel masih menunjukkan kekhususan mereka sebagai umat YHWH dalam percaturan
hubungan internasional. Bahkan Israel sendiri sangat getol menunjukkan
keunggulan mereka sebagai bangsa pilihan YHWH ketika mereka masuk dalam kancah
pencobaan dari bangsa-bangsa lain. Bisa dikatakan bahwa tanpa bangsa lain,
refleksi dan usaha pertahanan diri Israel sebagai umat pilihan YHWH barangkali
tidak ada[3].
Secara
kronologis, pengaruh pergulatan internasional baru diperoleh saat Israel masuk
dan menetap di Kanaan, yakni ketika mereka bertemu dengan bangsa-bangsa lain.
Namun sebenarnya bangsa Israel sudah lebih dahulu ada dan memiliki identitas
sendiri. Memang benar bahwa dengan adanya pengaruh dari bangsa-bangsa lain,
keberadaan Israel semakin ditantang untuk tetap kokoh kuat. Mereka juga
bertambah banyak karena ada kelompok-kelompok di Kanaan yang mau bergabung dan menyembah YaHWeH
(Yos 24)[4].
Namun yang menentukan mereka sebagai umat pilihan adalah YaHWeH sendiri.
Kenyataan ini bisa dilacak dalam sejarah bangsa Israel, yakni sejarah yang
berisi iman kepercayaan kepada YaHWeH. Dia-lah yang memanggil mereka keluar
dari Mesir menuju tanah terjanji (Kel 3:8; bdk.
Hos 11:1). Dia pula-lah yang mengikat perjanjian dengan mereka dan memilih
mereka sebagai harta kesayangan-Nya sendiri dari antara segala bangsa (Kel
19:5). Jadi, bisa dikatakan bahwa kekhasan Israel sebagai bangsa pilihan adalah
YaHWeH menjadi pusat hidup mereka[5].
Sampai di
sini tampak jelas bahwa ada dua peristiwa pokok yang melahirkan atau membentuk
kekhususan Israel sebagai bangsa pilihan, yakni peristiwa Eksodus dan Sinai.
Peristiwa-peristiwa lain dianggap sebagai lanjutan dan bagian-bagian dari kedua
peristiwa pokok ini. Perjalanan di padang gurun dan perebutan tanah Kanaan
terkait dengan peristiwa Eksodus, sedangkan peristiwa Sikhem (Yos 24) terkait
dengan peristiwa Sinai, meskipun sering dianggap bahwa peristiwa Sikhem
merupakan usaha untuk mempersatukan kedua peristiwa pokok itu yang lahir dari
tradisi religius yang berbeda-beda. Namun di sini tidak bermaksud untuk melihat
latar belakang tradisi kedua peristiwa pokok itu, tetapi lebih pada bagaimana
keduanya melahirkan atau membentuk identitas Israel sebagai bangsa pilihan
YaHWeH.
Pertama, peristiwa Eksodus,
meliputi keluar dari Mesir, perjalanan di padang gurun, dan pendudukan tanah
Kanaan. Sulit dibayangkan bahwa peristiwa-peristiwa ini terjadi tanpa campur
tangan YaHWeH. Firaun dan Mesir sangat kuat dan menjadi salah satu kekuatan
dunia saat itu. Orang Israel ragu, apakah Allah yang ditawarkan Musa dan Harun
mampu melawan Firaun. Musa pun ragu Firaun mendengarkan dia. Orang Israel saja
tidak mau mendengarkan dia, apalagi Firaun. Karena itu, dia keberatan, ‘aku
tidak petah lidah’ (Kel 6:11). Namun YaHWeH tetap mendorong dia untuk pergi
menghadap Firaun. Meski dengan begitu YaHWeH memberi pisau kepada Firaun untuk
membunuh bangsa Israel (bdk. Kel
5:21), tetapi Ia tidak tega membiarkan hal itu terjadi. Ia akhirnya kalahkan
Firaun. Kenyataan ini membuat orang Israel merasa sangat disayang YaHWeH[6].
Sesungguhnya,
Dia-lah pemrakarsa semua peristiwa itu. Karena itu, setelah bangsa Israel
melihat betapa besar perbuatan yang dilakukan TUHAN, mereka akhirnya
merefleksikan dan mulai menyadari bahwa TUHAN sangat sayang kepada mereka. Bisa
dikatakan bahwa tradisi Eksodus adalah tradisi fundamental tentang identitas
Israel. Mereka merefleksikan dan menemukan bahwa mereka berbeda dari
bangsa-bangsa lain[7],
karena kasih Allah begitu besar dicurahkan bagi mereka. Karena itu, mereka pun
membalas dengan percaya kepada TUHAN (Kel 14:30; Yos 4:14). Inilah awal
hubungan khusus YHWH dan bangsa Israel, tetapi selalu dalam relasi
superior/pencipta – inferior/ciptaan[8].
Kedua, peristiwa Sinai,
merupakan peristiwa pertemuan pertama antara YaHWeH dan bangsa Israel,
sekaligus peristiwa pertemuan perayaan kebaktian pertama yang sekaligus menjadi
model bagi kebaktian-kebaktian bangsa Israel sepajang masa. Jadi, inti dari
peristiwa Sinai adalah pertemuan antara YaHWeH dan bangsa Israel, yakni YaHWeH
bersedia menjadi Allah Israel serta membuat bangsa Israel menjadi milik-Nya
sendiri (nahala = milik pribadi; segula = milik kesayangan), yakni
sebagai kerajaan imamat dan bangsa yang kudus (Kel 19:5). Dalam peristiwa ini
terjadi perjanjian antara YaHWeH dan bangsa Israel, yang secara teknis disebut
sebagai perjanjian vasal. Dalam bentuk yang paling sederhana, perjanjian vasal
mempunyai pola sebagai berikut[9]:
|
KARENA Aku, YaHWeH,
telah membuktikan kasih-Ku akan kamu (dengan membebaskan kamu dari Mesir),
MAKA kamu, Israel, harus mengasihi Aku
kembali,
YAKNI dengan menepati segala perintah dan
peraturan-Ku
SUPAYA kamu terus mendapat berkat, bukan kutuk.
|
Dalam waktu singkat, sesudah
peristiwa di Sinai itu dirumuskan sejumlah perintah dan peraturan perjanjian.
Semunya berfungsi sebagai alat YaHWeH agar menjaga bangsa Israel tetap menjadi
milik-Nya dan memelihara mereka di dalam kedudukan dan identitas mereka yang
baru itu, yakni sebagai umat kesayangan-Nya. Jadi, setelah menyaksikan semua
hal yang dasyat dalam pertemuan itu, bangsa Israel merasa takut dan tak layak
menjalin relasi langsung dengan YaHWeH karena merasa diri jauh dari kekudusan
(Kel 20:18-20). Namun YaHWeH lebih memperhitungkan mereka sehingga memberi
hukum dan peraturan-peraturan untuk mengatur dan memelihara mereka. Di hadapan
semua ini, bangsa Israel semakin merasa bahwa mereka sungguh bangsa pilihan
Allah (bdk. Ul 7:6).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa
kedua peristiwa pokok ini (Eksodus dan Sinai) mengawali hubungan istimewa
antara YaHWeH dan bangsa Israel[10].
YaHWeH-lah yang memilih dan menetapkan identitas mereka sebagai kesayangan-Nya,
sedangkan bangsa Israel hanya ‘melihat…,
maka takut’ (Kel 14:30-31); ‘menyaksikan…, takut dan gemetar,…, dan berdiri jauh-jauh’ (Kel 20:18). Di sini tampak jelas bahwa dalam sebuah
refleksi bangsa Israel yang mendalam, akhirnya mereka menemukan bahwa keterpilihan
mereka merupakan suatu anugerah Allah, bukan kerena jasa-jasa mereka. Allah-lah
pemrakarsa segalanya.
b)
Memaknai Ulang
Keterpilihan Bangsa Israel
Dalam bagian
sebelumnya, telah diuraikan bagaimana prosesnya sampai bangsa Israel menemukan
identitas dirinya sebagai bangsa pilihan YaHWeH. Melalui refleksi yang
mendalam, mereka akhirnya menemukan bahwa keterpilihan mereka semata-mata
hanyalah anugerah Allah. Pada bagian ini akan diuraikan bagaimana bangsa
Israel, khususnya kerajaan Utara, memaknai kekhususan mereka sebagai bangsa
pilihan YaHWeH. Terkait dengan usaha pemaknaan atas identitas diri mereka, para
nabi mengambil peranan besar, bahkan cukup sentral dalam perkembangan kerajaan.
Peranan para nabi ini terkait dengan bagaimana melegitimasi keputusan dan
kebijakan seorang raja bahkan keterpilihannya: apakah dikehendaki YaHWeH atau
tidak?
Di Yehuda, rakyat percaya bahwa salah satu
kewajiban seorang raja adalah melahirkan seorang anak yang kelak akan
memerintah menggantikan dia. Mereka percaya bahwa orang yang mempunyai hak
untuk memerintah berasal dari keluarga tertentu (dalam hal ini keluarga Daud)
dan bahwa raja-raja dilahirkan dengan bakat-bakat dan kemampuan-kemampuan yang
diperlukan untuk pekerjaan mereka. Sebaliknya, di Israel (kerajaan utara), rakyat percaya bahwa seseorang baru akan
dipilih menjadi raja ketika ia dipandang telah dewasa dan matang untuk tugas
itu. Dalam hal ini, tanggung jawab para nabi adalah memperkenalkan orang
tersebut dengan sifat-sifat kepemimpinanya yang dibutuhkan sesuai dengan
pemerintahan dalam kerajaan Allah[11].
Para nabi pulalah yang mengangkat seorang raja. Karena itu, setiap raja berjuang untuk memperoleh
dukungan para nabi agar rakyat mengakui bahwa ia memperoleh hak untuk
memerintah. Rakyat Israel sendiri percaya bahwa para nabi mengetahui siapakah
yang pantas mereka terima sebagai raja[12].
Terkait
dengan fungsi dan peran para nabi ini, J. M. Powis Smith membedakan dua
golongan nabi dengan skop pandangan yang berbeda, antara lain; 1) para nabi
yang berpandangan sempit (nabi-nabi royal/kerajaan); dan 2) para nabi yang
berpandangan luas (nabi-nabi individual)[13].
Para nabi royal, yang disebut juga dengan serombongan nabi (1 Sam 10:5, 10-13)
atau golongan nabi (Am 7:14), bekerja di dalam bentuk institusi resmi kerajaan.
Ini berarti bahwa apa yang menjadi pandangan mereka adalah juga pandangan raja
dan rakyatnya[14].
Bahkan pandangan mereka sering dimanipulasi untuk memperkuat kedudukan raja.
Berbeda dari para nabi royal, para nabi individual bekerja dengan bebas,
meskipun mereka pun mempunyai murid-murid (Yes 8:16, 18). Pandangan mereka
biasanya kritis dan mendalam, sehingga tidak disukai bahkan dibenci para raja,
para nabi royal, dan kelompok umat tertentu (bdk. Am 7:10-14)[15].
Jadi secara
umum, dapat dikatakan bahwa ada dua kelompok orang yang berusaha untuk memahami
keterpilihan bangsa Israel (kerajaan utara) pada abad ke-8 SM, khususnya dalam
kitab Amos. Dua kelompok ini, antara lain; 1) kelompok penindas, yaitu para
raja dan jajarannya serta para nabi royal/kerajaan; dan 2) kelompok tertindas,
yaitu rakyat kecil dan para nabi individual. Amos tergolong dalam deretan para
nabi individual (7:14)[16].
Berikut ini
akan diuraikan bagaimana kedua kelompok ini memaknai (ulang)[17]
keterpilihan bangsa Israel, dalam kitab Amos. Kelompok pertama akan
merepresentasikan pandangan atau anggapan umum bangsa Israel (kerajaan utara),
sedangkan kelompok kedua akan diwakilkan oleh sebuah refleksi kritis dari Amos,
khususnya melalui gugatan YaHWeH dalam Amos 9:7.
1)
Sebuah Anggapan Umum: Arogansi
Bangsa Israel
Pada zaman
pemerintahan Yerobeam II (782-753 SM), Israel luar biasa makmurnya. Alasannya,
pada tahun 805 SM, Adad-nirari III dari Asyur menghancurkan Damaskus. Itu
berarti Asyur menyingkirkan Siria dari Palestina (Israel-kerajaan utara).
Namun, Asyur kemudian kehilangan semangat untuk meluaskan kekuasaannya di
sekitar pantai Laut Tengah, sampai penobatan Tiglat-Pileser III pada tahun 745
SM. Keadaan vacuum of power dari
penjajah ini dimanfaatkan oleh Yerobeam II untuk meluaskan batas-batas kerajaan
utara, bahkan sama dengan batas-batas kerajaan pada zaman Salomo, dengan
kekuatan militernya[18].
Itulah sebabnya mengapa bangsa Israel menganggap diri kuat (6:13), sehingga
malapetaka takkan pernah menimpa mereka (6:3; 9:10). Sebaliknya mereka
beranggapan bahwa kasih karunia Allah akan selalu menyertai mereka (5:14).
Bahkan mereka merasa diri telah menjadi suatu bangsa yang utama (6:1) di antara
segala bangsa di muka bumi.
Memang
benar bahwa ada beberapa kesukaran yang menimpa mereka (4:6-11). Namun,
kebijakan politik dunia tidak melihat apa-apa. Hal ini terjadi karena selain
militernya kuat (6:13), kerajaan utara (Israel) pun menguasai jalur perdagangan[19].
Karena itu, mereka bertindak seenaknya pun tidak takut akan malapetaka (6:3;
9:10). Justru dalam keadaan demikian, mereka merasa bahwa Allah senantiasa
menyertai mereka (5:14), sehingga mereka selalu menginginkan segera datangnya
hari TUHAN (5:18). Tentunya semua ini harus dipahami bahwa anggapan mereka
seperti ini lahir dari suatu legitimasi dari YaHWeH, melalui para nabi (royal)-Nya (bdk. 7:10-13). Jadi,
anggapan umum ini merupakan hasil refleksi atas situasi sosial bangsa Israel
yang makmur, bukan firman YaHWeH.
2)
Sebuah Refleksi Kritis dari Amos:
YaHWeH Menggugat!
Berhadapan
dengan anggapan umum ini, Amos sangat kritis untuk memahaminya. Bertolak dari
firman YaHWeH, Amos melihat bahwa situasi yang dialami umat Israel pada waktu
itu bukanlah suatu penyertaan TUHAN, Allah semesta alam (bdk. 5:14), melainkan suatu arogansi atas kehebatan dan keinginan
hawa nafsu sendiri (6:13). Kenyataan ini membuat kekudusan Nama TUHAN dinodai
(2:7). Padahal sesungguhnya hanya atas prakarsa dan kekuatan-Nya, Allah telah
menuntun mereka keluar dari Mesir (2:8-10), juga telah menjadikan mereka suatu
kerajaan imam dan bangsa yang kudus (Kel 19:6). Selain itu, Israel pun telah
melanggar perjanjian (vasal) di Sinai (Kel 19:5). Itu berarti mereka pasti
mendapat kutuk atau dihukum lebih berat (bdk.
3:2).
Amos mampu
melihat bahwa kemakmuran Israel bukan karena
penyertaan TUHAN, melainkan hasil pemerasan (2:6-8) dan penindasan (6:3). Kebobrokan
hidup Israel inilah yang menjadi
penyebab keruntuhannya[20].
Dengan mengagungkan kekuatan sendiri, sesungguhnya mereka telah menolak TUHAN
sebagai Sang Pencipta (4:3; 5:8; 9:5-6), Pelaku dalam sejarah (3:6; 4:6-11;
9:7), dan sebagai pengatur segenap bangsa (1:3-2:16)[21].
Konsekuensinya, malapetaka tak bisa dielak lagi (6:3; 9:10), hari TUHAN akan
menjadi suatu celaka (5:18-20), dan akhirnya mereka dipunahkan dari muka bumi.
Sampai di
sini, terbukti bahwa bangsa Israel bukanlah ‘bangsa yang utama’ (6:1)[22].
Mereka SAMA SEPERTI bangsa-bangsa lain (9:7). Sebenarnya, Allah memilih mereka
untuk bertanggung jawab, bukan untuk suatu privilese yang arogan[23].
Namun kenyataannya, bangsa Israel telah menodai relasinya dengan YaHWeH,
sehingga mereka tidaklah lebih dari orang Etiopia, Filistin, dan Aram. Benar
bahwa Israel dibentuk dalam peristiwa Eksodus, tetapi Dia juga membuat hal yang
sama bagi orang Filistin dan Aram. Karena itu, sama seperti orang Etiopia,
Filistin, dan Aram yang dibinasakan karena berdosa, demikian pun Israel akan
dipunahkan dari muka bumi karena telah berdosa melawan YaHWeH (9:7-8a)[24].
Allah
memang memilih mereka menjadi milik-Nya. Ada privilese sebagai bangsa pilihan,
karena telah memilih mereka secara bebas. Namun,
ada konsekuensi dari keterpilihan ini, yaitu menuntut tanggung jawab dari umat
Israel. Karena itu, menurut Amos, mereka harus takut, cinta, dan taat kepada
YaHWeH yang telah memilih mereka. Namun, kenyataannya mereka telah kehilangan
semangat yang mendorong nenek moyang mereka untuk masuk dalam perjanjian dengan
YaHWeH di Sinai. Mereka juga telah lupa akan cinta Allah yang telah memberkati
dan menjaga mereka selama hari-hari Eksodus mereka. Karena itu, YaHWeH akan
menghukum mereka karena kejahatan ini (3:2)[25].
Jadi dalam
refleksi kritisnya, Amos menemukan bahwa YaHWeH memang memberi status khusus
bagi Israel (3:2), tetapi Israel bukan satu-satunya bangsa yang diperhatikan
YaHWeH[26].
Proklamasi diri sebagai bangsa yang utama (6:1) hanyalah suatu anggapan umum
yang lahir dari arogansi bangsa Israel. Sebetulnya, di hadapan YaHWeH, semua
bangsa adalah sama (bdk. 9:7).
III. PENUTUP
Allah tidak pernah pilih kasih.
Sebutan Israel sebagai bangsa atau umat kesayangan TUHAN itu hanyalah refleksi atas peristiwa
masa lampau mereka terkait dengan konteks zaman di mana mereka hidup.
Kenyataannya, Allah sayang kepada semua orang/bangsa. Ia pun berkuasa atas
segala sesuatu. Karena itu, Ia bebas melakukan apa pun yang Ia mau.
Dalam membangun relasi dengan suatu
kelompok manusia, YaHWeH tidak mengeksklusikan kelompok yang lain. Dengan
demikian, berkat dan kutuk bisa datang kapan pun dan kepada siapa pun. Berkat
bisa datang bagi semua bangsa (9:7), begitu juga malapetaka bisa datang untuk semua bangsa yang
berdosa (1-2; 3:6; 9:10). Jadi, tidak berarti bahwa bangsa Israel [atau bangsa
manapun] oleh karena dipilih dari antara segala bangsa dan jadi milik
kesayangan-Nya boleh bertindak seenaknya saja. Inilah yang menjadi inti
refleksi dari nabi Amos dalam kitabnya, khususnya terkait kesederajatan semua
bangsa di hadapan YaHWeH (9:7).
Yogyakarta, 2014
Metodius Manek, CMF
[1]
S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi
tentang Hubungan Tuhan dan Israel, Bpk Gunung Mulia, Jakarta 1981, 11-12.
[2]
W. F. Albright, Archeology and the
Religion of Israel, The John Hopkins Press, Baltimore 1942, 161.
[3]
S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi
tentang Hubungan Tuhan dan Israel, 15.
[4]
W. F. Albright, From the Stone Age to
Christianity, The John Hopkins Press, Baltimore 1946, 211.
[5]
S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi
tentang Hubungan Tuhan dan Israel, 17.
[6]
Dr. J. L. Ch. Abineno, Paskah Israel,
Kesaksian Keluaran 1-15, Bpk Gunung Mulia, Jakarta (…), 7-8.
[7]
Marvin A. Sweeney, The Twelve Prophets,
dalam David W. Cotter, O.S.B, dkk (eds.),
“Berit Olam, Studies in Hebrew Narative and Poetry”, Liturgical Press, USA
2000, 272.
[8]
S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi
tentang Hubungan Tuhan dan Israel, 83-84.
[9]
Dr. Wim van der Weiden, MSF dan Mgr. I. Suharyo, Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta 2000,
21.
[10]
S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi
tentang Hubungan Tuhan dan Israel, 86.
[11]
Davin F. Hinson, Sejarah Israel pada
Zaman Alkitab, PT Bpk Gunung Mulia, Jakarta 2004, terj. M. Th. Mawene, dari judul asli “History of Israel”, SPCK Holy
Trinity Church, London 1973, 150.
[12]
Davin F. Hinson, Sejarah Israel pada
Zaman Alkitab, 140-142.
[13]
J. M. Powis Smith, Prophet and His
Problems, Charles Scribner’s Sons, New York 1923, 59-86.
[14]
W. E. Staples, Epic Motifs in Amos,
Journal of Near Eastern Studies, Vol. 25, No. 2 (Apr., 1966), 108.
[15]
S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi
tentang Hubungan Tuhan dan Israel, 18-33.
[16]
Terry Giles, A Note on the Vocation of
Amos in 7: 14, Journal of Biblical Literature, Vol. III, No. 4 (Winter,
1992), 690-692.
[17]
‘Memaknai ulang’ di sini tidak dipahami sebagai merekonstruksi makna
keterpilihan bangsa Israel, tetapi lebih dipahami sebagai pemahaman identitas
diri Israel sepanjang zaman. Dalam konteks kitab Amos, pemaknaan ini dibatasi
pada bagaimana kedua kelompok ini memahami keterpilihan Israel sebagai umat
YaHWeH di hadapan kejayaan dan kemakmuran kerajaan utara pada zaman pemerintahan Yerobeam II (782-753 SM).
[18]
J. A. Motyer, Amos, dalam Donald
Guthrie, dkk (eds.), “Tafsir Alkitab
Masa Kini 2, Ayub-Maleakhi, Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan
Alkitabiah,” Yayasan Komunikasi Kasih/OFM dan Bpk Gunung Mulia, Jakarta 1985, terj. M. B. Dainton, MA, dkk (eds.) dari judul asli “The New Bible
Commentary,” Inter-Varsity Press, London 1976, 614.
[19]
J. A. Motyer, Amos, 614.
[20]
J. B. Phillips, Four Prophets: Amos,
Hosea, First Isaiah, Michah, Geoffrey Bles, London 1963, 3.
[21]
J. A. Motyer, Amos, 615.
[22]
Kitab Suci Perjanjian Lama II, dengan Pengantar dan Catatan, LBI dan Nusa
Indah, Ende 1983, 793.
[23]
Ann Macpherson, Amos and Hosea, dalam
Laurence Bright (ed.), “Scripture
Discussion Commentary 2: Prophets I”, Sheed and Ward, London 1917, 27.
[24]
Robert B. Coote, Amos Among the Prophets,
Composition and Theology, Fortress Press, Philadelphia 1981, 111-120.
[25]
Marcion Strange, O.S.B., The Book of
Amos, Osee, and Michea, Paulist Press (Paulist Fathers), New York 1961, 10.
[26]
Michael L. Barre, Amos, dalam Raymond
E. Brown, dkk (eds.), “The New Jerome
Biblical Commentary,” Geoffrey Chapman, London 1990, 215.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-buku
Albright,
W. F. 1942. Archeology and the Religion
of Israel. Baltimore: The John Hopkins Press.
Albright,
W. F. 1946. From the Stone Age to
Christianity. Baltimore: The John Hopkins Press.
Abineno,
J. L. Ch. (…). Paskah Israel, Kesaksian
Keluaran 1-15. Jakarta: Bpk Gunung Mulia.
Coote,
Robert B. 1981. Amos among the Prophets,
Composition and Theology. Philadelphia: Fortress Press.
Hinson,
Davin F. 2004. Sejarah Israel pada Zaman
Alkitab. Jakarta: PT Bpk Gunung Mulia.
terj. M. Th. Mawene, dari judul asli “History of Israel”, SPCK Holy Trinity
Church, London 1973.
Phillips,
J. B. 1963. Four Prophets: Amos, Hosea,
First Isaiah, Michah. London: Geoffrey Bles.
Smith,
J. M. Powis. 1923. Prophet and His
Problems. New York: Charles Scribner’s Sons.
Strange,
Marcion. 1961. The Book of Amos, Osee,
and Michea. New York: Paulist Press (Paulist Fathers).
Wahono, S. Wismoady. 1981. Dua
Studi tentang Hubungan Tuhan dan Israel. Jakarta: Bpk Gunung Mulia.
Bunga Rampai
Barre,
Michael L. Amos. 1990. dalam Raymond
E. Brown, dkk (eds.). “The New Jerome
Biblical Commentary”. London: Geoffrey Chapman.
Macpherson,
Ann. Amos and Hosea. 1917. dalam
Laurence Bright (ed.). “Scripture
Discussion Commentary 2: Prophets I”. London: Sheed and Ward.
Motyer,
J. A. Amos. 1985. dalam Donald
Guthrie, dkk (eds.). “Tafsir Alkitab
Masa Kini 2, Ayub-Maleakhi, Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan
Alkitabiah”. Jakarta:Yayasan Komunikasi Kasih/OFM dan Bpk Gunung Mulia. terj. M. B. Dainton, MA, dkk (eds.) dari judul asli “The New Bible
Commentary”. 1976. London: Inter-Varsity Press.
Sweeney,
Marvin A. 2000. The Twelve Prophets.
dalam David W. Cotter, O.S.B, dkk (eds.).
“Berit Olam, Studies in Hebrew Narative and Poetry”. USA: Liturgical Press.
Artikel-artikel
Staples,
W. E. Epic Motifs in Amos. Journal of
Near Eastern Studies. Vol. 25. No. 2 (Apr., 1966). 106-112.
Giles,
Terry. A Note on the Vocation of Amos in
7: 14. Journal of Biblical Literature. Vol. III. No. 4 (Winter, 1992).
690-692.
Kitab Suci
Kitab
Suci Perjanjian Lama II, dengan Pengantar dan Catatan. 1983. Ende: LBI dan Nusa
Indah.
Komentar
Posting Komentar