Langsung ke konten utama

MEMAKNAI KETERPILIHAN BANGSA ISRAEL DALAM KITAB AMOS


[Sebuah Analisis Kritis Bertolak dari Teks Amos 9:7]

I.         PENGANTAR
Dalam kehidupan bersama, tentu ada suatu hal yang mengikat relasi. Sulit dibayangkan kita hidup bersama dengan baik tanpa sesuatu atau seseorang yang mengikat. Bisa jadi pengikat hidup bersama itu adalah karena satu hubungan darah atau keturunan, satu asal, atau bisa juga karena satu tujuan. Selain itu, intimnya relasi dalam hidup bersama bisa juga dibangun atas dasar suatu janji.
Dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali perjanjian atau konsensus yang kita jumpai. Perjanjian-perjanjian ini biasanya mempunyai batasan waktu tertentu. Bahkan perjanjian-perjanjian itu bisa dibatalkan oleh salah satu pihak jika terjadi pengkhianatan dari partner perjanjian. Namun, umumnya suatu perjanjian atau konsensus semakin mempererat hubungan di antara pihak-pihak yang mengadakan konsensus. Konsekuensinya, kedua belah pihak bisa jadi semakin lama menjalin suatu relasi, mereka semakin saling menghargai, menghormati, bahkan saling mencintai.
Hal serupa terjadi dengan hubuangan antara YHWH dan bangsa Israel. Oleh karena suatu perjanjian, keduanya memulai suatu relasi yang sangat khusus: suatu relasi kesayangan antara seorang TUHAN dan suatu bangsa-umat (Kel 19:5). Relasi ini bukan sembarang relasi, karena dibangun atas dasar suatu keterpilihan (Ul 7:6). Fakta inilah yang membuat bangsa Israel sampai pada suatu penemuan akan identitas dirinya, yakni sebagai suatu ‘bangsa yang utama (Am 6:1) di antara segala bangsa di muka bumi ini.
Terkait dengan proklamasi diri Israel sebagai suatu bangsa yang utama, YaHWeH melalui nabi-Nya Amos dengan tegas menggugat. Dua pertanyaan retoris yang berisikan perbandingan dengan bangsa-bangsa lain menampar telak arogansi bangsa Israel terkait dengan identitasnya sebagai bangsa pilihan dan kesayangan YHWH. “Bukankah kamu SAMA SEPERTI orang Etiopia bagi-Ku, hai orang Israel?” demikianlah Firman Tuhan – “Bukankah Aku telah menuntun orang Israel keluar dari tanah Mesir, orang Filistin dari Kaftor, dan orang Aram dari Kir?” (Am 9:7).
Spontan muncul pertanyaan: bukankah bangsa Israel adalah bangsa pilihan dan menjadi bangsa kesayangan YHWH? Mengapa dalam Amos 9:7 ini dikatakan bahwa mereka SAMA SEPERTI bangsa lain? Inilah yang menjadi alasan mendasar mengapa judul “Memaknai Keterpilihan Bangsa Israel dalam Kitab Amos” dipilih. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, pertanyaan yang akan secara implisit dijawab, antara lain; 1) bagaimana proses keterpilihan bangsa Israel; 2) mengapa sampai bangsa Israel menemukan diri (dengan arogan) sebagai ‘bangsa yang utama’; dan akhirnya 3) mengapa bangsa Israel dikatakan SAMA SEPERTI bangsa-bangsa lain, yakni seperti orang Etiopia, orang Filistin, dan orang Aram (Am 9:7)?

II.      MEMAKNAI KETERPILIHAN BANGAS ISRAEL
a)        Memaknai Identitas Israel sebagai Bangsa Pilihan
Dalam pengantar, jelas terungkap bahwa persoalan yang mau diusut adalah ketegangan antara arogansi bangsa Israel sebagai bangsa pilihan dan gugatan YHWH melalui Amos terhadap arogansi mereka (9:7). Namun terlebih dahulu akan diuraikan proses terbentuknya atau lahirnya Israel sebagai bangsa pilihan dan kesayangan YHWH.
Ketika bangsa Israel masuk dan menetap di Kanaan, tak bisa dielak lagi bahwa mereka terpengaruh, atau lebih tepatnya saling mempengaruhi, dengan bangsa-bangsa lain. Karena itu, pada zaman Yosua, bangsa Israel masih bersikap offensif[1]. Israel belum bisa hidup sebagai suatu bangsa yang menganut monoteisme murni, melainkan henoteisme. Maksudnya, di samping YHWH, ada kelompok orang yang diberi pilihan untuk menyembah allah selain YHWH. Hal ini tampak jelas dalam pernyataan Yosua di Sikhem (Yos 24:14-15).
Berbeda dengan zaman Yosua, pada abad ke-8 SM, Israel mulai bersikap defensif. Namun ini tidak berarti Israel sudah bebas dari berbagai pengaruh bangsa-bangsa lain. Albright menunjukkan bahwa angka-angka perbandingan pemakaian nama Baal dan YHWH di Israel Utara pada waktu itu adalah 7:1. Maksudnya jika nama Baal dipakai 7 kali, nama YHWH 11 kali[2]. Jadi sampai abad ke-8 SM pun, Israel Utara masih hidup dalam sinkretisme. Meski demikian, selalu ada usaha untuk mempertahankan identitas diri dari serangan politis dan agamis yang datang dari bangsa-bangsa lain di sekitar Israel, khususnya Asyur. Bangsa Israel masih menunjukkan kekhususan mereka sebagai umat YHWH dalam percaturan hubungan internasional. Bahkan Israel sendiri sangat getol menunjukkan keunggulan mereka sebagai bangsa pilihan YHWH ketika mereka masuk dalam kancah pencobaan dari bangsa-bangsa lain. Bisa dikatakan bahwa tanpa bangsa lain, refleksi dan usaha pertahanan diri Israel sebagai umat pilihan YHWH barangkali tidak ada[3].
Secara kronologis, pengaruh pergulatan internasional baru diperoleh saat Israel masuk dan menetap di Kanaan, yakni ketika mereka bertemu dengan bangsa-bangsa lain. Namun sebenarnya bangsa Israel sudah lebih dahulu ada dan memiliki identitas sendiri. Memang benar bahwa dengan adanya pengaruh dari bangsa-bangsa lain, keberadaan Israel semakin ditantang untuk tetap kokoh kuat. Mereka juga bertambah banyak karena ada kelompok-kelompok di Kanaan yang mau bergabung dan menyembah YaHWeH (Yos 24)[4]. Namun yang menentukan mereka sebagai umat pilihan adalah YaHWeH sendiri. Kenyataan ini bisa dilacak dalam sejarah bangsa Israel, yakni sejarah yang berisi iman kepercayaan kepada YaHWeH. Dia-lah yang memanggil mereka keluar dari Mesir menuju tanah terjanji (Kel 3:8; bdk. Hos 11:1). Dia pula-lah yang mengikat perjanjian dengan mereka dan memilih mereka sebagai harta kesayangan-Nya sendiri dari antara segala bangsa (Kel 19:5). Jadi, bisa dikatakan bahwa kekhasan Israel sebagai bangsa pilihan adalah YaHWeH menjadi pusat hidup mereka[5].
Sampai di sini tampak jelas bahwa ada dua peristiwa pokok yang melahirkan atau membentuk kekhususan Israel sebagai bangsa pilihan, yakni peristiwa Eksodus dan Sinai. Peristiwa-peristiwa lain dianggap sebagai lanjutan dan bagian-bagian dari kedua peristiwa pokok ini. Perjalanan di padang gurun dan perebutan tanah Kanaan terkait dengan peristiwa Eksodus, sedangkan peristiwa Sikhem (Yos 24) terkait dengan peristiwa Sinai, meskipun sering dianggap bahwa peristiwa Sikhem merupakan usaha untuk mempersatukan kedua peristiwa pokok itu yang lahir dari tradisi religius yang berbeda-beda. Namun di sini tidak bermaksud untuk melihat latar belakang tradisi kedua peristiwa pokok itu, tetapi lebih pada bagaimana keduanya melahirkan atau membentuk identitas Israel sebagai bangsa pilihan YaHWeH.
Pertama, peristiwa Eksodus, meliputi keluar dari Mesir, perjalanan di padang gurun, dan pendudukan tanah Kanaan. Sulit dibayangkan bahwa peristiwa-peristiwa ini terjadi tanpa campur tangan YaHWeH. Firaun dan Mesir sangat kuat dan menjadi salah satu kekuatan dunia saat itu. Orang Israel ragu, apakah Allah yang ditawarkan Musa dan Harun mampu melawan Firaun. Musa pun ragu Firaun mendengarkan dia. Orang Israel saja tidak mau mendengarkan dia, apalagi Firaun. Karena itu, dia keberatan, ‘aku tidak petah lidah’ (Kel 6:11). Namun YaHWeH tetap mendorong dia untuk pergi menghadap Firaun. Meski dengan begitu YaHWeH memberi pisau kepada Firaun untuk membunuh bangsa Israel (bdk. Kel 5:21), tetapi Ia tidak tega membiarkan hal itu terjadi. Ia akhirnya kalahkan Firaun. Kenyataan ini membuat orang Israel merasa sangat disayang YaHWeH[6].
Sesungguhnya, Dia-lah pemrakarsa semua peristiwa itu. Karena itu, setelah bangsa Israel melihat betapa besar perbuatan yang dilakukan TUHAN, mereka akhirnya merefleksikan dan mulai menyadari bahwa TUHAN sangat sayang kepada mereka. Bisa dikatakan bahwa tradisi Eksodus adalah tradisi fundamental tentang identitas Israel. Mereka merefleksikan dan menemukan bahwa mereka berbeda dari bangsa-bangsa lain[7], karena kasih Allah begitu besar dicurahkan bagi mereka. Karena itu, mereka pun membalas dengan percaya kepada TUHAN (Kel 14:30; Yos 4:14). Inilah awal hubungan khusus YHWH dan bangsa Israel, tetapi selalu dalam relasi superior/pencipta – inferior/ciptaan[8].
Kedua, peristiwa Sinai, merupakan peristiwa pertemuan pertama antara YaHWeH dan bangsa Israel, sekaligus peristiwa pertemuan perayaan kebaktian pertama yang sekaligus menjadi model bagi kebaktian-kebaktian bangsa Israel sepajang masa. Jadi, inti dari peristiwa Sinai adalah pertemuan antara YaHWeH dan bangsa Israel, yakni YaHWeH bersedia menjadi Allah Israel serta membuat bangsa Israel menjadi milik-Nya sendiri (nahala = milik pribadi; segula = milik kesayangan), yakni sebagai kerajaan imamat dan bangsa yang kudus (Kel 19:5). Dalam peristiwa ini terjadi perjanjian antara YaHWeH dan bangsa Israel, yang secara teknis disebut sebagai perjanjian vasal. Dalam bentuk yang paling sederhana, perjanjian vasal mempunyai pola sebagai berikut[9]:
KARENA Aku, YaHWeH, telah membuktikan kasih-Ku akan kamu (dengan membebaskan kamu dari Mesir),
MAKA         kamu, Israel, harus mengasihi Aku kembali,
YAKNI        dengan menepati segala perintah dan peraturan-Ku
SUPAYA      kamu terus mendapat berkat, bukan kutuk.
Dalam waktu singkat, sesudah peristiwa di Sinai itu dirumuskan sejumlah perintah dan peraturan perjanjian. Semunya berfungsi sebagai alat YaHWeH agar menjaga bangsa Israel tetap menjadi milik-Nya dan memelihara mereka di dalam kedudukan dan identitas mereka yang baru itu, yakni sebagai umat kesayangan-Nya. Jadi, setelah menyaksikan semua hal yang dasyat dalam pertemuan itu, bangsa Israel merasa takut dan tak layak menjalin relasi langsung dengan YaHWeH karena merasa diri jauh dari kekudusan (Kel 20:18-20). Namun YaHWeH lebih memperhitungkan mereka sehingga memberi hukum dan peraturan-peraturan untuk mengatur dan memelihara mereka. Di hadapan semua ini, bangsa Israel semakin merasa bahwa mereka sungguh bangsa pilihan Allah (bdk. Ul 7:6).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa kedua peristiwa pokok ini (Eksodus dan Sinai) mengawali hubungan istimewa antara YaHWeH dan bangsa Israel[10]. YaHWeH-lah yang memilih dan menetapkan identitas mereka sebagai kesayangan-Nya, sedangkan bangsa Israel hanya ‘melihat…, maka takut (Kel 14:30-31); ‘menyaksikan…, takut dan gemetar,…, dan berdiri jauh-jauh (Kel 20:18). Di sini tampak jelas bahwa dalam sebuah refleksi bangsa Israel yang mendalam, akhirnya mereka menemukan bahwa keterpilihan mereka merupakan suatu anugerah Allah, bukan kerena jasa-jasa mereka. Allah-lah pemrakarsa segalanya.

b)       Memaknai Ulang Keterpilihan Bangsa Israel
Dalam bagian sebelumnya, telah diuraikan bagaimana prosesnya sampai bangsa Israel menemukan identitas dirinya sebagai bangsa pilihan YaHWeH. Melalui refleksi yang mendalam, mereka akhirnya menemukan bahwa keterpilihan mereka semata-mata hanyalah anugerah Allah. Pada bagian ini akan diuraikan bagaimana bangsa Israel, khususnya kerajaan Utara, memaknai kekhususan mereka sebagai bangsa pilihan YaHWeH. Terkait dengan usaha pemaknaan atas identitas diri mereka, para nabi mengambil peranan besar, bahkan cukup sentral dalam perkembangan kerajaan. Peranan para nabi ini terkait dengan bagaimana melegitimasi keputusan dan kebijakan seorang raja bahkan keterpilihannya: apakah dikehendaki YaHWeH atau tidak?
Di Yehuda, rakyat percaya bahwa salah satu kewajiban seorang raja adalah melahirkan seorang anak yang kelak akan memerintah menggantikan dia. Mereka percaya bahwa orang yang mempunyai hak untuk memerintah berasal dari keluarga tertentu (dalam hal ini keluarga Daud) dan bahwa raja-raja dilahirkan dengan bakat-bakat dan kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan mereka. Sebaliknya, di Israel (kerajaan utara), rakyat percaya bahwa seseorang baru akan dipilih menjadi raja ketika ia dipandang telah dewasa dan matang untuk tugas itu. Dalam hal ini, tanggung jawab para nabi adalah memperkenalkan orang tersebut dengan sifat-sifat kepemimpinanya yang dibutuhkan sesuai dengan pemerintahan dalam kerajaan Allah[11]. Para nabi pulalah yang mengangkat seorang raja. Karena itu, setiap raja berjuang untuk memperoleh dukungan para nabi agar rakyat mengakui bahwa ia memperoleh hak untuk memerintah. Rakyat Israel sendiri percaya bahwa para nabi mengetahui siapakah yang pantas mereka terima sebagai raja[12].
Terkait dengan fungsi dan peran para nabi ini, J. M. Powis Smith membedakan dua golongan nabi dengan skop pandangan yang berbeda, antara lain; 1) para nabi yang berpandangan sempit (nabi-nabi royal/kerajaan); dan 2) para nabi yang berpandangan luas (nabi-nabi individual)[13]. Para nabi royal, yang disebut juga dengan serombongan nabi (1 Sam 10:5, 10-13) atau golongan nabi (Am 7:14), bekerja di dalam bentuk institusi resmi kerajaan. Ini berarti bahwa apa yang menjadi pandangan mereka adalah juga pandangan raja dan rakyatnya[14]. Bahkan pandangan mereka sering dimanipulasi untuk memperkuat kedudukan raja. Berbeda dari para nabi royal, para nabi individual bekerja dengan bebas, meskipun mereka pun mempunyai murid-murid (Yes 8:16, 18). Pandangan mereka biasanya kritis dan mendalam, sehingga tidak disukai bahkan dibenci para raja, para nabi royal, dan kelompok umat tertentu (bdk. Am 7:10-14)[15].
Jadi secara umum, dapat dikatakan bahwa ada dua kelompok orang yang berusaha untuk memahami keterpilihan bangsa Israel (kerajaan utara) pada abad ke-8 SM, khususnya dalam kitab Amos. Dua kelompok ini, antara lain; 1) kelompok penindas, yaitu para raja dan jajarannya serta para nabi royal/kerajaan; dan 2) kelompok tertindas, yaitu rakyat kecil dan para nabi individual. Amos tergolong dalam deretan para nabi individual (7:14)[16].
Berikut ini akan diuraikan bagaimana kedua kelompok ini memaknai (ulang)[17] keterpilihan bangsa Israel, dalam kitab Amos. Kelompok pertama akan merepresentasikan pandangan atau anggapan umum bangsa Israel (kerajaan utara), sedangkan kelompok kedua akan diwakilkan oleh sebuah refleksi kritis dari Amos, khususnya melalui gugatan YaHWeH dalam Amos 9:7.

1)         Sebuah Anggapan Umum: Arogansi Bangsa Israel
Pada zaman pemerintahan Yerobeam II (782-753 SM), Israel luar biasa makmurnya. Alasannya, pada tahun 805 SM, Adad-nirari III dari Asyur menghancurkan Damaskus. Itu berarti Asyur menyingkirkan Siria dari Palestina (Israel-kerajaan utara). Namun, Asyur kemudian kehilangan semangat untuk meluaskan kekuasaannya di sekitar pantai Laut Tengah, sampai penobatan Tiglat-Pileser III pada tahun 745 SM. Keadaan vacuum of power dari penjajah ini dimanfaatkan oleh Yerobeam II untuk meluaskan batas-batas kerajaan utara, bahkan sama dengan batas-batas kerajaan pada zaman Salomo, dengan kekuatan militernya[18]. Itulah sebabnya mengapa bangsa Israel menganggap diri kuat (6:13), sehingga malapetaka takkan pernah menimpa mereka (6:3; 9:10). Sebaliknya mereka beranggapan bahwa kasih karunia Allah akan selalu menyertai mereka (5:14). Bahkan mereka merasa diri telah menjadi suatu bangsa yang utama (6:1) di antara segala bangsa di muka bumi.
Memang benar bahwa ada beberapa kesukaran yang menimpa mereka (4:6-11). Namun, kebijakan politik dunia tidak melihat apa-apa. Hal ini terjadi karena selain militernya kuat (6:13), kerajaan utara (Israel) pun menguasai jalur perdagangan[19]. Karena itu, mereka bertindak seenaknya pun tidak takut akan malapetaka (6:3; 9:10). Justru dalam keadaan demikian, mereka merasa bahwa Allah senantiasa menyertai mereka (5:14), sehingga mereka selalu menginginkan segera datangnya hari TUHAN (5:18). Tentunya semua ini harus dipahami bahwa anggapan mereka seperti ini lahir dari suatu legitimasi dari YaHWeH, melalui para nabi (royal)-Nya (bdk. 7:10-13). Jadi, anggapan umum ini merupakan hasil refleksi atas situasi sosial bangsa Israel yang makmur, bukan firman YaHWeH.

2)         Sebuah Refleksi Kritis dari Amos: YaHWeH Menggugat!
Berhadapan dengan anggapan umum ini, Amos sangat kritis untuk memahaminya. Bertolak dari firman YaHWeH, Amos melihat bahwa situasi yang dialami umat Israel pada waktu itu bukanlah suatu penyertaan TUHAN, Allah semesta alam (bdk. 5:14), melainkan suatu arogansi atas kehebatan dan keinginan hawa nafsu sendiri (6:13). Kenyataan ini membuat kekudusan Nama TUHAN dinodai (2:7). Padahal sesungguhnya hanya atas prakarsa dan kekuatan-Nya, Allah telah menuntun mereka keluar dari Mesir (2:8-10), juga telah menjadikan mereka suatu kerajaan imam dan bangsa yang kudus (Kel 19:6). Selain itu, Israel pun telah melanggar perjanjian (vasal) di Sinai (Kel 19:5). Itu berarti mereka pasti mendapat kutuk atau dihukum lebih berat (bdk. 3:2).
Amos mampu melihat bahwa kemakmuran Israel bukan karena penyertaan TUHAN, melainkan hasil pemerasan (2:6-8) dan penindasan (6:3). Kebobrokan hidup Israel inilah yang menjadi penyebab keruntuhannya[20]. Dengan mengagungkan kekuatan sendiri, sesungguhnya mereka telah menolak TUHAN sebagai Sang Pencipta (4:3; 5:8; 9:5-6), Pelaku dalam sejarah (3:6; 4:6-11; 9:7), dan sebagai pengatur segenap bangsa (1:3-2:16)[21]. Konsekuensinya, malapetaka tak bisa dielak lagi (6:3; 9:10), hari TUHAN akan menjadi suatu celaka (5:18-20), dan akhirnya mereka dipunahkan dari muka bumi.
Sampai di sini, terbukti bahwa bangsa Israel bukanlah ‘bangsa yang utama’ (6:1)[22]. Mereka SAMA SEPERTI bangsa-bangsa lain (9:7). Sebenarnya, Allah memilih mereka untuk bertanggung jawab, bukan untuk suatu privilese yang arogan[23]. Namun kenyataannya, bangsa Israel telah menodai relasinya dengan YaHWeH, sehingga mereka tidaklah lebih dari orang Etiopia, Filistin, dan Aram. Benar bahwa Israel dibentuk dalam peristiwa Eksodus, tetapi Dia juga membuat hal yang sama bagi orang Filistin dan Aram. Karena itu, sama seperti orang Etiopia, Filistin, dan Aram yang dibinasakan karena berdosa, demikian pun Israel akan dipunahkan dari muka bumi karena telah berdosa melawan YaHWeH (9:7-8a)[24].
Allah memang memilih mereka menjadi milik-Nya. Ada privilese sebagai bangsa pilihan, karena telah memilih mereka secara bebas. Namun, ada konsekuensi dari keterpilihan ini, yaitu menuntut tanggung jawab dari umat Israel. Karena itu, menurut Amos, mereka harus takut, cinta, dan taat kepada YaHWeH yang telah memilih mereka. Namun, kenyataannya mereka telah kehilangan semangat yang mendorong nenek moyang mereka untuk masuk dalam perjanjian dengan YaHWeH di Sinai. Mereka juga telah lupa akan cinta Allah yang telah memberkati dan menjaga mereka selama hari-hari Eksodus mereka. Karena itu, YaHWeH akan menghukum mereka karena kejahatan ini (3:2)[25].
Jadi dalam refleksi kritisnya, Amos menemukan bahwa YaHWeH memang memberi status khusus bagi Israel (3:2), tetapi Israel bukan satu-satunya bangsa yang diperhatikan YaHWeH[26]. Proklamasi diri sebagai bangsa yang utama (6:1) hanyalah suatu anggapan umum yang lahir dari arogansi bangsa Israel. Sebetulnya, di hadapan YaHWeH, semua bangsa adalah sama (bdk. 9:7).

III. PENUTUP
Allah tidak pernah pilih kasih. Sebutan Israel sebagai bangsa atau umat kesayangan TUHAN itu hanyalah refleksi atas peristiwa masa lampau mereka terkait dengan konteks zaman di mana mereka hidup. Kenyataannya, Allah sayang kepada semua orang/bangsa. Ia pun berkuasa atas segala sesuatu. Karena itu, Ia bebas melakukan apa pun yang Ia mau.
Dalam membangun relasi dengan suatu kelompok manusia, YaHWeH tidak mengeksklusikan kelompok yang lain. Dengan demikian, berkat dan kutuk bisa datang kapan pun dan kepada siapa pun. Berkat bisa datang bagi semua bangsa (9:7), begitu juga malapetaka bisa datang untuk semua bangsa yang berdosa (1-2; 3:6; 9:10). Jadi, tidak berarti bahwa bangsa Israel [atau bangsa manapun] oleh karena dipilih dari antara segala bangsa dan jadi milik kesayangan-Nya boleh bertindak seenaknya saja. Inilah yang menjadi inti refleksi dari nabi Amos dalam kitabnya, khususnya terkait kesederajatan semua bangsa di hadapan YaHWeH (9:7).

Yogyakarta, 2014
Metodius Manek, CMF




[1] S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi tentang Hubungan Tuhan dan Israel, Bpk Gunung Mulia, Jakarta 1981, 11-12.
[2] W. F. Albright, Archeology and the Religion of Israel, The John Hopkins Press, Baltimore 1942, 161.
[3] S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi tentang Hubungan Tuhan dan Israel, 15.
[4] W. F. Albright, From the Stone Age to Christianity, The John Hopkins Press, Baltimore 1946, 211.
[5] S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi tentang Hubungan Tuhan dan Israel, 17.
[6] Dr. J. L. Ch. Abineno, Paskah Israel, Kesaksian Keluaran 1-15, Bpk Gunung Mulia, Jakarta (…), 7-8.
[7] Marvin A. Sweeney, The Twelve Prophets, dalam David W. Cotter, O.S.B, dkk (eds.), “Berit Olam, Studies in Hebrew Narative and Poetry”, Liturgical Press, USA 2000, 272.
[8] S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi tentang Hubungan Tuhan dan Israel, 83-84.
[9] Dr. Wim van der Weiden, MSF dan Mgr. I. Suharyo, Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta 2000, 21.
[10] S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi tentang Hubungan Tuhan dan Israel, 86.
[11] Davin F. Hinson, Sejarah Israel pada Zaman Alkitab, PT Bpk Gunung Mulia, Jakarta 2004, terj. M. Th. Mawene, dari judul asli “History of Israel”, SPCK Holy Trinity Church, London 1973, 150.
[12] Davin F. Hinson, Sejarah Israel pada Zaman Alkitab, 140-142.
[13] J. M. Powis Smith, Prophet and His Problems, Charles Scribner’s Sons, New York 1923, 59-86.
[14] W. E. Staples, Epic Motifs in Amos, Journal of Near Eastern Studies, Vol. 25, No. 2 (Apr., 1966), 108.
[15] S. Wismoady Wahono, Ph. D., Dua Studi tentang Hubungan Tuhan dan Israel, 18-33.
[16] Terry Giles, A Note on the Vocation of Amos in 7: 14, Journal of Biblical Literature, Vol. III, No. 4 (Winter, 1992), 690-692.
[17] ‘Memaknai ulang’ di sini tidak dipahami sebagai merekonstruksi makna keterpilihan bangsa Israel, tetapi lebih dipahami sebagai pemahaman identitas diri Israel sepanjang zaman. Dalam konteks kitab Amos, pemaknaan ini dibatasi pada bagaimana kedua kelompok ini memahami keterpilihan Israel sebagai umat YaHWeH di hadapan kejayaan dan kemakmuran kerajaan utara pada zaman  pemerintahan Yerobeam II (782-753 SM).
[18] J. A. Motyer, Amos, dalam Donald Guthrie, dkk (eds.), “Tafsir Alkitab Masa Kini 2, Ayub-Maleakhi, Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan Alkitabiah,” Yayasan Komunikasi Kasih/OFM dan Bpk Gunung Mulia, Jakarta 1985, terj. M. B. Dainton, MA, dkk (eds.) dari judul asli “The New Bible Commentary,” Inter-Varsity Press, London 1976, 614.
[19] J. A. Motyer, Amos, 614.
[20] J. B. Phillips, Four Prophets: Amos, Hosea, First Isaiah, Michah, Geoffrey Bles, London 1963, 3.
[21] J. A. Motyer, Amos, 615.
[22] Kitab Suci Perjanjian Lama II, dengan Pengantar dan Catatan, LBI dan Nusa Indah, Ende 1983, 793.
[23] Ann Macpherson, Amos and Hosea, dalam Laurence Bright (ed.), “Scripture Discussion Commentary 2: Prophets I”, Sheed and Ward, London 1917, 27.
[24] Robert B. Coote, Amos Among the Prophets, Composition and Theology, Fortress Press, Philadelphia 1981, 111-120.
[25] Marcion Strange, O.S.B., The Book of Amos, Osee, and Michea, Paulist Press (Paulist Fathers), New York 1961, 10.
[26] Michael L. Barre, Amos, dalam Raymond E. Brown, dkk (eds.), “The New Jerome Biblical Commentary,” Geoffrey Chapman, London 1990, 215.




DAFTAR PUSTAKA


Buku-buku
Albright, W. F. 1942. Archeology and the Religion of Israel. Baltimore: The John Hopkins Press.
Albright, W. F. 1946. From the Stone Age to Christianity. Baltimore: The John Hopkins Press.
Abineno, J. L. Ch. (…). Paskah Israel, Kesaksian Keluaran 1-15. Jakarta: Bpk Gunung Mulia.
Coote, Robert B. 1981. Amos among the Prophets, Composition and Theology. Philadelphia: Fortress Press.
Hinson, Davin F. 2004. Sejarah Israel pada Zaman Alkitab. Jakarta: PT Bpk Gunung Mulia. terj. M. Th. Mawene, dari judul asli “History of Israel”, SPCK Holy Trinity Church, London 1973.
Phillips, J. B. 1963. Four Prophets: Amos, Hosea, First Isaiah, Michah. London: Geoffrey Bles.
Smith, J. M. Powis. 1923. Prophet and His Problems. New York: Charles Scribner’s Sons.
Strange, Marcion. 1961. The Book of Amos, Osee, and Michea. New York: Paulist Press (Paulist Fathers).
Wahono, S. Wismoady. 1981. Dua Studi tentang Hubungan Tuhan dan Israel. Jakarta: Bpk Gunung Mulia.

Bunga Rampai
Barre, Michael L. Amos. 1990. dalam Raymond E. Brown, dkk (eds.). “The New Jerome Biblical Commentary”. London: Geoffrey Chapman.
Macpherson, Ann. Amos and Hosea. 1917. dalam Laurence Bright (ed.). “Scripture Discussion Commentary 2: Prophets I”. London: Sheed and Ward.
Motyer, J. A. Amos. 1985. dalam Donald Guthrie, dkk (eds.). “Tafsir Alkitab Masa Kini 2, Ayub-Maleakhi, Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan Alkitabiah”. Jakarta:Yayasan Komunikasi Kasih/OFM dan Bpk Gunung Mulia. terj. M. B. Dainton, MA, dkk (eds.) dari judul asli “The New Bible Commentary”. 1976. London: Inter-Varsity Press.
Sweeney, Marvin A. 2000. The Twelve Prophets. dalam David W. Cotter, O.S.B, dkk (eds.). “Berit Olam, Studies in Hebrew Narative and Poetry”. USA: Liturgical Press.

Artikel-artikel
Staples, W. E. Epic Motifs in Amos. Journal of Near Eastern Studies. Vol. 25. No. 2 (Apr., 1966). 106-112.
Giles, Terry. A Note on the Vocation of Amos in 7: 14. Journal of Biblical Literature. Vol. III. No. 4 (Winter, 1992). 690-692.

Kitab Suci
Kitab Suci Perjanjian Lama II, dengan Pengantar dan Catatan. 1983. Ende: LBI dan Nusa Indah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...