Dua
tahun berlalu sudah. Rince masih tetap pada pendiriannya, tak mau melanjutkan
sekolahnya. Ia tak mau kuliah –meskipun selalu ditawari dengan tawaran
pendidikan yang menarik .
Rince memang orang yang cukup keras kepala. Apalagi ia
selalu dimanja oleh ayahnya semasa masih hidup bersama. Kini, ia hanya tinggal
bersama ibunya. Mungkin hal ini yang membuatnya tak mau jauh dari rumah;
apalagi ia anak tunggal.
Selama hidupnya, ayah Rince menjanjikan hal-hal yang luar biasa
menarik dalam dunia pendidikan. Ayahnya mau anaknya menuntut ilmu setinggi
mungkin. Ayahnya pernah berjanji bahwa ia akan tetap selalu mengantar Rince ke
tempat kuliah setiap pagi seperti yang dilakukannya pada Rince selama hidupnya
sebelum ia pergi ke kebun. Sungguh, ia sangat mencintai Rince, anak tunggalnya
itu. Ia tak pernah mengeluh dalam mendukung anaknya bersekolah. Rince pun
selalu semangat pergi ke sekolah.
Kini,
Rince telah tamat SMA. Semangatnya untuk bersekolah pudar. Bahkan ia sering mengatakan
dengan terus terang pada ibunya bahwa ia membenci sekolah.
Ia sangat iri pada semua orang yang bersekolah. Ia iri
karena mereka mempunyai ayah yang bertanggung jawab untuk menyekolahkan mereka.
Ia membenci ayahnya karena tak menepati janjinya. Ia menganggap ayahnya sebagai
seorang pembohong.
“Ayah membohongiku, Bu! Dia dulu berjanji bahwa dia mau
menyekolahkanku. Tetapi, nyatanya…., ayah tak bertanggung jawab. Aku benci
ayah, Bu!”
“Nak, jangan berkata begitu. Kan masih ada pamanmu yang mau
menyekolahkanmu!”
“Iya, Bu! Tapi, paman tak sama dengan ayah. Paman selalu
marah-marah. Ia tak mau mengantarku ke tempat kuliah. Aku selalu jalan
sendirian setiap pagi. Kan aku perempuan, Bu, aku lemah! Bagaimana kalau
terjadi sesuatu di jalan, siapa yang akan menolong aku?”
“Nak! Jangan pernah berpikir bahwa perempuan itu lemah.
Kamu lihat saja perempuan-perempuan hebat di negeri ini, seperti Kartini,
Megawati, Agnes Monika, Gita Gutawa, dan masih banyak lainnya.”
“Iya, Bu! Tapi, ayah seorang pembohong. Ia tak bertanggung
jawab! Ia tidak memenuhi janjinya.”
“Nak!
Ayahmu telah tiada. Ia telah meninggal dunia. Ia sekarang tak bersama kita lagi
di dunia ini,” kata ibu Rince sambil menangis.
Rince pun terharu dan turut menangis. “Mengapa ayah harus
pergi, Bu? Mengapa dia harus pergi meninggalkan kita?”
“Nak! Itu urusan Tuhan. Kamu tahu…, ayah sangat mencintai
keluarga kita. Ia selalu mencintai kamu. Ia bertanggug jawab. Ia bukan penipu.
Ia selalu mau kamu bersekolah. Ia selalu siap untuk mengantar kamu ke tempat
kuliah. Memang ia sudah tidak ada lagi di dunia ini, tetapi ia selalu menyertai
kita, selalu siap mengantar kamu ke tempat kuliah dari surga.”
Mendengar itu, Rince tidak tahan lagi menahan tangisannya.
Ia menangis histeris. Ia memeluk dan mencium ibunya. “Maafkan aku, Bu!”
Segera Rince berlari keluar mendapati makam ayahnya di samping rumah. Sambil menangis, ia merayap
dan memeluk makam ayahnya. “Maafkan aku ayah! Aku mau sekolah sekarang. Aku yakin ayah
mau dan selalu mengantarku setiap pagi.”
Timor 2011/2012
Komentar
Posting Komentar