(Analisis Biblis-Teologis-Kultural terhadap
Teks Rut 1:21a)
A. Latar
Belakang Masalah dan Abstraksi
Semua orang mempunyai masa lalu yang tak
tertinggal begitu saja. Masa lalu itu selalu dibawa, bahkan sepanjang hidup
seseorang. Memang ada masa lalu yang sangat cepat dilupakan. Namun, ada pula
masa lalu yang sulit dilupakan. Biasanya pengalaman yang bermakna sulit kita
lupakan, entah pengalaman manis entah pahit. Akan tetapi, satu hal penting yang
perlu kita sadari adalah suatu pengalaman masa lalu mendapat arti manis atau
pahit sangat tergantung pada bagaimana kita memaknainya.
Bisa saja kita menghadiri suatu pesta
nikah, tetapi hanya rasa sakit dan penyesalan yang kita tuai. Mungkin saja
disebabkan oleh tuan pesta yang adalah mantan kekasih atau gadis yang sangat
kita cintai, tetapi ia telah memutuskan untuk menikah dengan orang lain.
Sebaliknya, kita pun bisa jadi tampak sangat bahagia ketika menghadiri upacara
pemakaman seseorang. Mungkin saja disebabkan oleh rasa benci dan dendam
terhadap orang yang akan dimakamkan, karena pernah menyakiti kita atau apa pun
alasannya yang membuat kita menghendaki kepergiaannya dari dunia ini. Padahal,
seharusnya kita bergembira jika menghadiri pesta nikah dan sedih jika menghadiri
upacara pemakaman seseorang.
Tampaknya aneh. Namun, fenomena inilah yang
sering terjadi dalam hidup kita. Kita sering sedih atau iri hati jika orang
lain bahagia, atau sebaliknya, kita sering tertawa di atas penderitaan orang
lain. Pengalaman masa lalu kita sering membalut mata pikiran dan hati kita
untuk memaknai masa kini yang sedang kita hidupi. Kita sering menutup diri
terhadap perubahan. Akibatnya, jika pengalaman masa lalu kita maknai sebagai
suatu kepahitan atau malapetaka, yang tertinggal dalam diri kita hanyalah
kehampaan. Rasanya seperti kepenuhan diri kita terkuak habis, dan yang tersisa
hanyalah kekosongan. Inilah yang dialami Naomi.
Naomi adalah seorang perempuan yang hidup
di Betlehem pada zaman para hakim. Kelaparan menggiring Naomi dan keluarganya
untuk mencari perlindungan di Moab (selama 10 tahun), di mana kedua putranya
menikahi perempuan Moab. Setelah suami dan kedua anaknya meninggal dunia, Naomi
pulang ke Betlehem, karena di Moab ia mendengar bahwa TUHAN telah memperhatikan
umat-Nya dan memberi makanan kepada mereka (1:6). Ketika memasuki Betlehem,
perempuan-perempuan Betlehem berkata, “Naomikah itu?” (1:9). Akan tetapi, ia
menolak dipanggil ‘Naomi’. “Sebutkanlah aku Mara,”
katanya (1:20). Alasannya, masa lalunya di Moab ditentang oleh TUHAN, sehingga
hidupnya hanya penuh dengan kepahitan dan malapetaka. Ia
sampai pada kesimpulan: “Dengan tangan yang penuh aku pergi, tetapi dengan
tangan yang kosong TUHAN memulangkan aku” (1:21a).
Bila kita membaca dengan saksama kesimpulan
pada 1:21a ini, sebagai hasil interpretasi Naomi terhadap masa lalunya, kita
akan merasa terusik. Keterusikan ini akan semakin terasa terutama apabila kita
melihat ayat selanjutnya (1:22), narator menutup bagian ini dengan menegaskan dua
hal, yakni ‘Naomi pulang ke Betlehem bersama Rut’ dan ‘tiba di sana pada awal
musim menuai’. Bisa kita katakan bahwa kedua hal ini merupakan dua tanda
kepenuhan sebagai lawan dari pernyataan kekosongan Naomi[1].
Inilah yang menjadi titik tolak penulis mau mencoba untuk mendalami maksud teks
1:21a ini secara bibilis-teologis-kultural. Ketiga sudut pandang ini tidak akan
dispesifikasi secara terpisah dalam uraian, tetapi secara menyeluruh saja.
Untuk mempermudah pemahaman kita, ada tiga
rumusan masalah yang secara implisit akan kita jawab dalam tulisan ini, antara
lain;
1. Mengapa Naomi menginterpretasikan masa
lalunya, ketika kepulangannya dari Moab, sebagai suatu kekosongan?
2. Kapan Naomi sadar akan kekeliruannya dalam
menginterpretasikan masa lalunya ini?
3. Bagaimana usaha Naomi me-reinterpretasi-kan
masa lalunya dengan memaknai masa kininya?
B. Interpretasi
I
1. Interpretasi
(I) Masa Lalu di Moab: ‘Hanya tersisa Kekosongan’
Ada dua teks interpretasi (I) masa lalu Naomi, yaitu
1:13c dan 1:20-21. Kedua teks ini akan diuraikan sebagai berikut.
a. 1:13c
|
“…bukankah jauh lebih pahit yang aku alami
dari pada kamu, sebab tangan TUHAN teracung terhadap aku?”
|
Teks 1:13c ini mempunyai hubungan erat dengan teks
1:20-21. Akan tetapi, alamat tuju atau konteks masing-masing berbeda. Teks
1:13c merupakan ungkapan Naomi kepada kedua menantunya, sedangkan pada 1:20-21
merupakan ungkapan hasil interpretasi atas masa lalunya kepada para prempuan
Betlehem.
Kalau mau dilihat secara utuh, teks 1:13c ini
sebenarnya merupakan bagian dari teks 1:11-13,yang merupakan respons Naomi
terhadap kedua menantunya yang menolak untuk pergi ke rumah ibunya
masing-masing (1:8), tetapi mau ikut dengan dia ke Betlehem (1:10). Naomi
menguraikan mengapa dia tak menghendaki kedua menantunya mengikutinya ke
Betlehem. Dia tak mau kedua menantunya mengalami kepahitan yang lebih parah
seperti yang dia alami, jauh lebih parah daripada yang mereka berdua alami
karena kehilangan suami, Elimelekh, dan kedua putranya, Mahlon dan Kilyon.
Naomi mengatakan:
|
1:11 “Pulanglah, anak-anakku, mengapakah kamu turut
dengan aku? Bukankah tidak akan ada lagi anak laki-laki yang kulahirkan untuk
dijadikan suamimu nanti?
1:12 Pulanglah, anak-anakku, pergilah, sebab sudah terlalu tua aku untuk
bersuami. Seandainya pikirku: Ada harapan bagiku, dan sekalipun malam ini aku
bersuami, bahkan sekalipun aku masih melahirkan anak laki-laki,
1:13 masakan kamu menanti sampai mereka dewasa? Masakan
karena itu kamu harus menahan diri dan tidak bersuami? Janganlah kiranya
demikian, anak-anakku, bukankah jauh lebih pahit yang aku alami dari pada
kamu, sebab tangan TUHAN teracung terhadap aku?”
|
Dalam kata-kata perpisahannya ini, Naomi
mendefinisikan relasinya terhadap kedua menantunya[2].
Kedengarannya aneh sekali. Tampaknya eksistensi Naomi bagi kedua menantunya
tidak lebih dari pada hanyalah seorang pembuat laki-laki bagi mereka berdua
untuk dinikahi. Karena itu, perannya selesai ketika kedua putranya telah
meninggal dunia, karena dengan demikian kisahnya sebagai pembuat laki-laki pun
berakhir. Lagi pula, ia sudah menjanda dan sudah terlalu tua baginya untuk bisa
membuat anak laki-laki lagi bagi mereka berdua untuk dinikahi. Bahkan kalaupun
mungkin, adalah hal yang mendatangkan kepahitan bagi keduanya jika harus
menahan diri tak menikah selama menanti anak yang akan dilahirkan bagi mereka
tumbuh dewasa.
Melihat kekosongan harapan dan kepahitan itu, Naomi
menyuruh mereka pergi ke rumah ibu mereka masing-masing (1:8). Kiranya di sana
mereka mendapat kasih karunia TUHAN. Secara biblis-teologis, term ‘rumah ibu’
terkait dengan ‘perkawinan’ (bdk. Kej 24:28). Dengan demikian, Naomi
menyuruh kedua menantunya pulang ke rumah ibu mereka masing-masing berarti ke
sana untuk menikah lagi[3].
Itulah sebabnya Naomi mengatakan pada teks 1:9, “kiranya atas karunia TUHAN
kamu mendapat tempat perlindungan, masing-masing di rumah suaminya.”
Pertanyaan yang muncul adalah ‘mengapa Naomi harus
menyuruh mereka pergi? Bukankah lebih baik jika mereka mendampingi dia pulang
ke Betlehem, sehingga di sana dia mempunyai orang yang akan memperhatikan dia
pada masa tuanya?’ Rupanya kepahitan, ketiadaan harapan, dan kekosongan yang
sedang menimpa Naomi –sebagai hasil interpretasi Naomi atas masa lalunya– telah
membutakan dia untuk menatap secercah harapan di masa mendatang ketika tiba di
Betlehem kelak. Ia sungguh memahami bagaimana martabat seorang perempuan di
tempat asalnya, Betlehem.
Secara sosio-kultural, hanya pernikahan yang membuat
status sosial dan ekonomis seorang perempuan Betlehem menjadi eksis[4].
Perempuan hanya bisa mendapatkan eksistensinya jika dimiliki. Kiranya hal ini
membuat kita mampu memahami kelak mengapa Boas menanyakan identitas Rut pada
pertemuan pertama mereka, dengan mengatakan: ‘Dari manakah perempuan ini?’ atau
‘Siapa pemilik perempuan ini?’ (2:5).
Jelas bahwa dalam budaya patriarkat Israel, seorang
perempuan muda harus dimiliki oleh seorang laki-laki. Perempuan itu barang
milik, bukan pribadi[5].
Karena alasan inilah, bagi Naomi, tak ada gunanya kedua menantunya ikut pulang
bersamanya ke Betlehem. Di sana mereka hanya akan menambah kepahitan, ketiadaan
harapan, dan kekosongan mereka. Lagi pula, relasi mereka dengan Naomi tak lebih
daripada hanya sebatas pembuat anak laki-laki bagi mereka untuk dinikahi,
tetapi kini ia telah tua renta dan menjanda, sehingga perannya tak mungkin
dijalankan lagi. Jadi, alangkah lebih baik jika mereka pulang ke rumah ibu
mereka masing-masing, karena di sana mereka akan memperoleh kasih setia TUHAN.
b. 1:20-21
Kitab Rut bisa dikatakan mempunyai kesatuan rencana,
sebuah arsitektur[6].
Setelah berdialog lama, akhirnya Naomi memperbolehkan Rut ikut pulang ke
Betlehem, sedangkan Orpa pulang ke rumah ibunya. “Ketika Naomi dan Rut masuk ke Betlehem, gemparlah seluruh kota itu
karena mereka, dan perempuan-perempuan di Betlehem itu berkata: ‘Naomikah itu?’”
(1:19). Akan tetapi, respons Naomi sangat lain. Dengan permainan kata atas
namanya, Naomi yang artinya ‘manis-(ku)’ atau ‘kesukaan-(ku)’, merasa
bahwa namanya sendiri tak cocok lagi dikenakan padanya. Lebih tepat jika ia
dipanggil Mara, yang artinya ‘pahit’[7].
Perubahan nama ini pun mau mengungkapkan perubahan keadaan hidupnya, yakni dari
kegembiraan menuju penderitaan[8],
dari kemanisan menuju kepahitan, dari adanya harapan menuju ketiadaan harapan,
dan dari kepenuhan menuju kekosongan.
Naomi sendiri mengungkapkan mengapa ia tak mau
dipanggil Naomi, tetapi Mara melalui susunan kiastik ‘Yang
Mahakuasa’ dan ‘YHWH’ (1:20-21), sebagai berikut[9].
|
Yang Mahakuasa telah melakukan banyak yang pahit kepadaku.
TUHAN memulangkan aku dengan tangan kosong.
TUHAN telah naik saksi menentang aku
Yang Mahakuasa telah mendatangkan malapetaka kepadaku.
|
Dari struktur ini mau dikatakan bahwa alasan Naomi
pulang ke Betlehem dengan tangan kosong adalah karena TUHAN telah naik saksi
menentang dia. Karena itu, TUHAN yang adalah Yang Mahakuasa itu ‘mampu’
mendatangkan banyak yang pahit dan malapetaka kepadanya. Di sini Naomi
menemukan Yang Ilahi dalam masa lalunya sebagai pribadi yang mendatangkan
malapetaka, yang menghancurkan kehidupan manusia[10].
Sedikit bisa kita pahami: ketika Naomi mengatakan kepada perempuan-perempuan
Betlehem bahwa baik kepenuhan maupun kekosongan berasal dari YHWH, sebenarnya
dia menggunakan nama Allah yang mengingatkan mereka akan kata Ibrani yang
berhubungan dengan kesuburan dan penghancuran[11].
Akan tetapi, terlepas dari nama yang digunakan Naomi untuk menyebut Allah pada
masa lalunya, tetaplah terkesan bahwa jawaban Naomi ini aneh.
Sebenarnya telah dikatakan sebelumnya oleh narator
bahwa alasan Naomi ingin pulang ke Betlehem adalah ‘di Moab ia mendengar bahwa
TUHAN telah memperhatikan umat-Nya dan memberi makanan kepada mereka’ (1:6).
Selain itu, narator pun berkisah sebelumnya bahwa Naomi pulang ke Betlehem tak
sendirian, tetapi bersama dengan Rut (1:19). Kata Ibrani Rut barangkali
singkatan dari re’ut, yang artinya ‘teman perempuan’[12].
Dengan kata lain, Naomi pulang ke Betlehem dengan seorang ‘teman perempuan’,
yang tidak lain adalah menantunya sendiri. Pertanyaan
yang muncul adalah ‘mengapa Naomi masih mengatakan bahwa TUHAN memulangkan dia
ke Betlehem dengan tangan kosong?’
Secara kultural, telah diungkapkan di atas bahwa
perempuan hanya bisa eksis jika dimiliki oleh seorang laki-laki. Kenyataannya,
ketika pulang ke Betlehem, baik Rut maupun Naomi tidak dimiliki oleh laki-laki
mana pun. Keduanya adalah para janda tak ‘beranak’. Dengan demikian, kesimpulan
yang diambil Naomi setelah menginterpretasi masa lalunya, “…dengan tangan
kosong TUHAN memulangkan aku”, bisa diterima. Namun, persoalan yang masih
tersisa adalah ‘mengapa alasan utama yang mendorong dia pulang ke Betlehem pun
dianggap kosong?’ Padahal, Naomi sendiri telah mendengar dari Moab bahwa TUHAN
sendirilah yang memberi kepenuhan di Betlehem (1:6), sehingga dia terdorong
untuk meninggalkan Moab dan pulang ke Betlehem.
Ora Dresner mengatakan bahwa pada saat itu, Naomi
masih dibalut oleh rasa sakit hati yang mendalam: karena kelaparan yang
menggiring dia bersama keluarganya mengungsi ke tempat asing (Moab) dan
kematian suami dan kedua putranya di tempat asing itu[13].
Karena itu, ketika menginterpretasi masa lalunya, Naomi mendapati dirinya
tinggal dalam kekosongan. Itulah sebabnya narator menutup Bab I ini dengan
menegaskan kembali kepenuhan berkat makanan (1:6) dan kehadiran Rut (1:19) pada
ayat terakhir (1:22).
‘Kehadiran Rut’ dan ‘tiba di Betlehem pada permulaan
musim menuai jelai’ merupakan dua tanda oposisi dari pernyataan kekosongan,
hasil interpretasi Naomi terhadap masa lalunya[14].
D. F. Rauber mengatakan bahwa sebenarnya kembalinya Naomi dan Rut ke Betlehem
merupakan tanda berakhirnya kelaparan dan masa-masa pahit, ketiadaan harapan,
dan kekosongan Naomi di Moab, negeri yang telah mereka tinggalkan[15].
Namun, kesadaran ini belum dicapai Naomi. Ia masih tinggal dalam kepahitan,
ketiadaan harapan, dan kekosongan masa lalu.
2. Konsekuensi
dari Interpretasi (I): Naomi Pasif Menjalani Hidup di Betlehem
Awal kehidupan Naomi di Betlehem masih tinggal dalam
kepahitan masa lalu, ketiadaan harapan masa depan, dan kekosongan masa kini.
Karena itu, Rut mengambil inisiatif untuk keluar dari keterpurukan ini[16].
Rut meminta persetujuan Naomi untuk pergi ke ladang dan memungut bulir-bulir
jelai yang ditinggalkan para penyabit guna menyambung hidupnya dan Naomi.
Rut berkata kepada Naomi, “Biarkanlah aku pergi ke
ladang memungut bulir-bulir jelai di belakang orang yang murah hati kepadaku”
(2:2a). Dari kata-katanya, tampak bahwa Rut masih melihat adanya peluang untuk
bisa bertahan hidup, dan dia bertindak untuk merebut peluang itu, sedangkan
Naomi pasif saja karena ketiadaan harapan. Meskipun demikian, Naomi menyetujui
permintaan Rut untuk pergi memungut bulir-bulir jelai yang ditinggalkan para
penyabit. Bahkan kini ia menyapa Rut dengan sebuah bahasa yang intim, “Pergilah,
anakku” (2:2a).
Tindakan memungut bulir jelai yang dilakukan Rut
mempunyai dua arti[17],
antara lain; 1) memungut di tepi setiap ladang; dan 2) memungut yang
ditinggalkan para penyabit –bagi orang miskin dan penduduk asing yang tidak
mempunyai tanah untuk digarap (Im 19:9-10; 23:22; Ul 24:19-22).
Dalam hukum dan tradisi Israel ini, para penyabit
tidak boleh memungut habis hasil tanahnya sampai ke tepinya dan janganlah juga
mereka memungut ulang berkas-berkas gandum yang ketinggalan pada saat menuai.
Alasannya, semua berkas gandum yang tertinggal itu menjadi milik orang miskin,
janda, orang yang tak dikenal (orang asing), dan yatim-piatu –karena mereka pun
mempunyai hak menuai pada musim menuai[18].
Namun, semua ini merupakan wujud kemurahan hati para pemilik tanah kepada
mereka yang tidak mempunyai tanah untuk digarap. Dengan demikian, inisiatif Rut
untuk meminta persetujuan Naomi, yang diikuti dengan tindakannya untuk pergi
memungut bulir-bulir jelai di belakang para penyabit, bisa kita katakan sebagai
keterbukaan Rut terhadap kemurahan hati orang lain. Rut masih melihat adanya
kepenuhan yang bisa ditimba, sedangkan Naomi masih tinggal dalam kekosongan.
C. Interpretasi
II
1. Interpretasi
(II) Masa Lalu di Moab: Re-interpretasi terhadap teks 1:21a
Situasi berubah ketika Rut pulang dari ladang tempat
ia memungut bulir-bulir jelai. Naomi kaget melihat apa yang dipungut menantunya,
karena sangatlah banyak. Karena itu ia berkata, “Di mana engkau memungut dan di
mana engkau bekerja hari ini? Diberkatilah kiranya orang yang telah
memperhatikan engkau itu!” (2:19a). “Lalu diceritakannyalah kepada mertuanya
itu pada siapa ia bekerja, katanya: “Nama orang pada siapa aku bekerja hari ini
ialah Boas”” (2:19b). Hal ini tak diduga Naomi sebelumnya. Ternyata orang yang
bermurah hati itu adalah sanaknya sendiri.
Kenyataan ini menggoncang Naomi bangkit dari ketiadaan
harapan dan menarik dia keluar dari kekosongan serta memberi dia setetes awal
rasa manis. Kini hidupnya mulai ditransformasikan[19]
menuju suatu masa depan yang ‘penuh’ harapan dan kemanisan. Secara perlahan,
interpretasi terhadap masa lalunya (1:20-21) direinterpretasikan kembali. Ia
mulai melihat bahwa TUHAN bukanlah pemberi malapetaka dan kepahitan, juga TUHAN
tidak pernah naik saksi menentang dia, serta mengantar dia pada suatu
kekosongan. Karena itu, ia berkata, “Diberkatilah kiranya orang itu oleh TUHAN
yang rela mengaruniakan kasih setia-Nya kepada orang-orang yang hidup dan yang
mati” (2:20a).
Sampai di sini barulah Naomi mengakui Rut sebagai
bagian dari keluarganya[20].
Ia menjelaskan kepada menantunya, “Orang itu kaum kerabat kita, dialah
salah seorang yang wajib menebus kita” (2:20b). Dengan kata lain, Naomi
mulai sadar bahwa kedatangannya kembali ke Betlehem tidak sendirian, tetapi
bersama Rut, menantunya (menegaskan pernyataan narator pada 1:19, 22). Ia tidak
pulang ke Betlehem dengan tangan kosong, tetapi bersama seorang ‘Rut’ (Ibr.
re’ut = ‘teman perempuan’). Bahkan kini Naomi tak hanya melihat Rut sebagai
perempuan biasa, tetapi seorang yang sangat setia dan menjadi mediator dari
transformasi kehidupannya[21].
Dengan demikian, Naomi pun memperbarui eksistensinya bagi Rut. Peran Naomi
bukan lagi sebatas pembuat laki-laki bagi Rut (dan Orpa) untuk dinikahi,
melainkan lebih daripada itu adalah sebagai ibu, yang bisa mendatangkan
kemanisan bagi mereka. Hal ini tampak jelas dalam sapaan intim yang digunakan
Naomi untuk menyapa Rut: “Ya anakku,…, supaya engkau jangan disusahi
orang di ladang lain” (2:22). Sebaliknya, kehadiran Rut bagi Naomi pun
dipertegas narator, yakni sebagai anak (menantu) yang setia melayani mertuanya,
khususnya dalam urusan makan minum (2:23).
Sampai di sini, kekosongan Naomi karena ketiadaan
makanan dan sanak keluarga menjadi tak masuk akal. Ternyata di Betlehem ia
tetap didampingi Rut, yang selalu mau berjuang untuk ‘memenuhi’ kebutuhan
hidupnya. Interpretasinya terhadap masa lalunya kembali direinterpretasikan.
Sejak peristiwa ini, Naomi mulai bangkit dari isolasi dan keterpurukannya[22].
Dalam reinterpretasi terhadap masa lalunya, ia menemukan bahwa ‘Yang Mahakuasa’
yang dulunya mendatangkan kepahitan, malapetaka, serta naik saksi menentang dia
dan menggiring dia pada suatu kekosongan (1:20-21), kini tampil sebagai “YHWH yang
rela mengaruniakan kasih setia-Nya kepada orang-orang yang hidup dan yang mati”
(2:20) serta memberikan kepenuhan.
2. Konsekuensi
dari Interpretasi (II): Memaknai Masa Kininya di Betlehem
Naomi telah sadar bahwa kekosongannya akan
segera berakhir. Namun, ia harus segera melakukan usaha-usaha untuk mencapai
kepenuhan, sebab jika tidak, kelaparan, kepahitan, malapetaka, dan kekosongan
akan kembali menyapa, ketika musim menuai gandum telah berakhir. Kemendesakan
usaha pemenuhan ini tampak jelas dalam konklusi yang dikisahkan narator pada
ayat 23, yang bernuansa suatu peringatan keras[23].
Karena itu, Naomi mulai merancang rencana untuk mencari tempat perlindungan
bagi Rut –yang dengan demikian memberi kenyamanan juga baginya (Naomi)– yakni
dengan usaha untuk menikahkan Rut dan Boas (3:1-5). Ia mulai bergerak dari keterpurukannya
sebagai korban menjadi agen perubahan dan penerima berkat[24].
Ia yakin bahwa YHWH pasti memperhatikan usahanya, seperti yang telah
ditunjukkan kepadanya melalui kemurahan hati Boas pada Rut di ladang gandum,
pada pertemuan pertama mereka (2:8-17).
Usahanya berhasil. Walaupun narator diam
saja (apakah terjadi hubungan seksual antara Boas dan Rut malam itu atau
tidak), tetapi tetap saja sikap dan tindakan Rut (datang ke tempat pengirikan
dan berbaring di samping seorang lelaki yang bukan suaminya yang sedang tidur)
adalah suatu skandal menurut standar kebiasaan di mana ia tinggal sekrang[25]. Karena itu, waktu Rut pulang dari tempat
pengirikan setelah semalam tidur bersama Boas dan menceritakan segala yang
terjadi (3:16-17), Naomi dengan santai berkata, “Duduk sajalah menanti, anakku,
sampai engkau mengetahui, bagaimana kesudahan perkara itu; sebab orang itu
tidak akan berhenti, sebelum diselesaikannya perkara itu pada hari ini juga.”
Boas takut masalah ini diketahui publik[26].
Karena itu, Boas dan sanak terdekat yang anonim seolah-olah dengan sangat cakap
mempermainkan tiga jenis hukum[27],
yaitu hukum perkawinan levirat (25:5-10), hukum tentang penebusan (Im 25:25 dan
27: 9-33), dan hukum tentang kepemilikan (Bil 27:1-11), sehingga segala hal
berjalan legalitis. Akhirnya, mereka mencapai kesepakatan dan men-sah-kan
kesepakatan itu secara ritual dan legalistis sekaligus (4:7). Lalu Boas menebus
tanah Naomi, juga mengambil Rut sebagai istrinya dan menghampirinya. “Atas
karunia TUHAN perempuan itu mengandung…”: meskipun konsumasi dalam perkawinan
adalah aktivitas manusia, mengandung seorang anak tetaplah dikatakan sebagai
pemberian Allah (Kej 21:1-2; 25:21; 29:31-32; 30:22-23)[28].
Akhirnya, anak itu pun lahir. Akan tetapi,
anehnya pujian dari para perempuan Betlehem itu tidak menyebut anak itu sebagai
penebus dan pewaris dari Mahlon atau Elimelek, tetapi dari Naomi. Begitu pula
dengan pemberian nama anak itu, tidak dihubungkan dengan Elimelek atau Mahlon,
tetapi dengan Naomi: “Pada Naomi telah lahir seorang anak laki-laki” (4:17). Ternyata para
perempuan Betlehem memandang Obed lebih daripada sekadar penebus. Mereka melihat
bahwa Allah telah mengembalikan hidup Naomi dari kekosongan yang memahitkan
menjadi kepenuhan yang memaniskan dan penuh harapan.
D. Penutup
Naomi adalah karakter dalam Kitab Rut yang paling
mencerminkan sikap dan pengalaman manusia akan Allah. Kita sering memahami
Allah seturut kehendak kita. Padahal, Allah telah merancang segala yang terbaik
untuk kita. Bahkan di balik suatu peristiwa yang memahitkan pun di sana Allah
hadir. Sekarang tergantung pada kita: apakah kita pasrah pada pengalaman masa
lalu kita yang pahit, tanpa harapan, dan hanya terpampang kekosongan, ataukah
kita mau melihat kehadiran Allah di balik peristiwa-peristiwa hidup kita, dan
berani untuk melangkah maju.
Naomi telah memberi contoh yang baik dalam tulisan
kecil ini. Ada saat dia tinggal dalam kekosongan, tetapi ada saat dia bangkit
dan berusaha untuk mencapai kepenuhan. Semua ini hanya bisa terjadi jika kita
melibatkan Allah dalam menginterpretsikan atau memberi makna pada pengalaman
masa lalu kita. Dengan demikian, tak ada jalan buntu bagi kita, sebab Allah
membuat segalanya mungkin.
Yogyakarta 2013
Metodius Manek, CMF
[1] Phyllis Trible, Two Women in A Man's World: A Reading of
the Book of Ruth, Soundings: An Interdisciplinary Journal, Vol. 59, No. 3
(Fall 1976), pp. 251-279, Penn State University Press, http://www.jstor.org/stable/41177998, diakses 14/04/2014, pukul 09:20 WIB, hlm. 259.
[2] Jan Wojcik, Improvising Rules in the Book of Ruth,
PMLA, Vol. 100, No. 2 (Mar., 1985), pp. 145-153, Modern Language Association, http://www.jstor.org/stable/462286 diakses 14/04/2014, pukul 09:11 WIB, hlm. 147.
[3] The New Interpreter’s® Study Bible, New Revised Standard Version with
the Apocrypha, Abingdon Press, Nashville 2003, hlm. 385.
[6] Stephen Bertman, Symmetrical Design in the Book of Ruth,
Journal of Biblical Literature, Vol. 84, No. 2 (Jun., 1965), pp. 165-168, The
Society of Biblical Literature, http://www.jstor.org/stable/3264139 diakses 14/04/2014,
pukul 09:13 WIB, hlm. 168.
[7] Paul J. Achtemeier, dkk. (eds.), Harper’s Bible Dictionary,
Theological Publication in India, Bangalor-India 1999, hlm. 687.
[8] David Noel Freedman, dkk. (eds.), The Anchor Bible Dictionary,
Vol. IV (K-N), BDD Publication Group, Inc., New York 1992, hlm. 513.
[9] David Noel Freedman, dkk. (eds.), The Anchor Bible Dictionary,
Vol. V (O-Sh), BDD Publication Group, Inc., New York 1992, hlm. 844.
[12] Ensiklopedi Alkitab Masa kini, Jilid II: M-Z, Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OFM, Jakarta 1995, diterj. dari judul asli “The New Bible
Dictionary”, Inter-Varsity, England 1988, hlm. 333.
[13] Ora Dresner, Mourning and Loss and the Life Cycle in the
Book of Ruth Bible Week 2006, European Judaism: A Journal for the New
Europe, Vol. 40, No. 2 (Autumn 2007), pp.132-139, Berghahn Books, http://www.jstor.org/stable/41443911 diakses 14/04/2014,
pukul 09:15 WIB, hlm. 135.
[15] D. F. Rauber, Literature Values in the Biblel: The Book of Ruth,
Journal of Biblical Literature 89 (1970), hlm. 27-37.
[18] Donald Senior, dkk. (eds.), The Catholic Study Bible, New
American Bible, Oxford University Press, New York 1990, hlm. 280.
Komentar
Posting Komentar