Langsung ke konten utama

Reinterpretasi Masa Lalu dalam Masa Kini Naomi


(Analisis Biblis-Teologis-Kultural terhadap Teks Rut 1:21a)

A.    Latar Belakang Masalah dan Abstraksi
Semua orang mempunyai masa lalu yang tak tertinggal begitu saja. Masa lalu itu selalu dibawa, bahkan sepanjang hidup seseorang. Memang ada masa lalu yang sangat cepat dilupakan. Namun, ada pula masa lalu yang sulit dilupakan. Biasanya pengalaman yang bermakna sulit kita lupakan, entah pengalaman manis entah pahit. Akan tetapi, satu hal penting yang perlu kita sadari adalah suatu pengalaman masa lalu mendapat arti manis atau pahit sangat tergantung pada bagaimana kita memaknainya.
Bisa saja kita menghadiri suatu pesta nikah, tetapi hanya rasa sakit dan penyesalan yang kita tuai. Mungkin saja disebabkan oleh tuan pesta yang adalah mantan kekasih atau gadis yang sangat kita cintai, tetapi ia telah memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Sebaliknya, kita pun bisa jadi tampak sangat bahagia ketika menghadiri upacara pemakaman seseorang. Mungkin saja disebabkan oleh rasa benci dan dendam terhadap orang yang akan dimakamkan, karena pernah menyakiti kita atau apa pun alasannya yang membuat kita menghendaki kepergiaannya dari dunia ini. Padahal, seharusnya kita bergembira jika menghadiri pesta nikah dan sedih jika menghadiri upacara pemakaman seseorang.
Tampaknya aneh. Namun, fenomena inilah yang sering terjadi dalam hidup kita. Kita sering sedih atau iri hati jika orang lain bahagia, atau sebaliknya, kita sering tertawa di atas penderitaan orang lain. Pengalaman masa lalu kita sering membalut mata pikiran dan hati kita untuk memaknai masa kini yang sedang kita hidupi. Kita sering menutup diri terhadap perubahan. Akibatnya, jika pengalaman masa lalu kita maknai sebagai suatu kepahitan atau malapetaka, yang tertinggal dalam diri kita hanyalah kehampaan. Rasanya seperti kepenuhan diri kita terkuak habis, dan yang tersisa hanyalah kekosongan. Inilah yang dialami Naomi.
Naomi adalah seorang perempuan yang hidup di Betlehem pada zaman para hakim. Kelaparan menggiring Naomi dan keluarganya untuk mencari perlindungan di Moab (selama 10 tahun), di mana kedua putranya menikahi perempuan Moab. Setelah suami dan kedua anaknya meninggal dunia, Naomi pulang ke Betlehem, karena di Moab ia mendengar bahwa TUHAN telah memperhatikan umat-Nya dan memberi makanan kepada mereka (1:6). Ketika memasuki Betlehem, perempuan-perempuan Betlehem berkata, “Naomikah itu?” (1:9). Akan tetapi, ia menolak dipanggil ‘Naomi’. “Sebutkanlah aku Mara,” katanya (1:20). Alasannya, masa lalunya di Moab ditentang oleh TUHAN, sehingga hidupnya hanya penuh dengan kepahitan dan malapetaka. Ia sampai pada kesimpulan: “Dengan tangan yang penuh aku pergi, tetapi dengan tangan yang kosong TUHAN memulangkan aku” (1:21a).
Bila kita membaca dengan saksama kesimpulan pada 1:21a ini, sebagai hasil interpretasi Naomi terhadap masa lalunya, kita akan merasa terusik. Keterusikan ini akan semakin terasa terutama apabila kita melihat ayat selanjutnya (1:22), narator menutup bagian ini dengan menegaskan dua hal, yakni ‘Naomi pulang ke Betlehem bersama Rut’ dan ‘tiba di sana pada awal musim menuai’. Bisa kita katakan bahwa kedua hal ini merupakan dua tanda kepenuhan sebagai lawan dari pernyataan kekosongan Naomi[1]. Inilah yang menjadi titik tolak penulis mau mencoba untuk mendalami maksud teks 1:21a ini secara bibilis-teologis-kultural. Ketiga sudut pandang ini tidak akan dispesifikasi secara terpisah dalam uraian, tetapi secara menyeluruh saja.
Untuk mempermudah pemahaman kita, ada tiga rumusan masalah yang secara implisit akan kita jawab dalam tulisan ini, antara lain;
1.      Mengapa Naomi menginterpretasikan masa lalunya, ketika kepulangannya dari Moab, sebagai suatu kekosongan?
2.      Kapan Naomi sadar akan kekeliruannya dalam menginterpretasikan masa lalunya ini?
3.      Bagaimana usaha Naomi me-reinterpretasi-kan masa lalunya dengan memaknai masa kininya?

B.     Interpretasi I

1.      Interpretasi (I) Masa Lalu di Moab: ‘Hanya tersisa Kekosongan’

Ada dua teks interpretasi (I) masa lalu Naomi, yaitu 1:13c dan 1:20-21. Kedua teks ini akan diuraikan sebagai berikut.

a.       1:13c
“…bukankah jauh lebih pahit yang aku alami dari pada kamu, sebab tangan TUHAN teracung terhadap aku?”

Teks 1:13c ini mempunyai hubungan erat dengan teks 1:20-21. Akan tetapi, alamat tuju atau konteks masing-masing berbeda. Teks 1:13c merupakan ungkapan Naomi kepada kedua menantunya, sedangkan pada 1:20-21 merupakan ungkapan hasil interpretasi atas masa lalunya kepada para prempuan Betlehem.
Kalau mau dilihat secara utuh, teks 1:13c ini sebenarnya merupakan bagian dari teks 1:11-13,yang merupakan respons Naomi terhadap kedua menantunya yang menolak untuk pergi ke rumah ibunya masing-masing (1:8), tetapi mau ikut dengan dia ke Betlehem (1:10). Naomi menguraikan mengapa dia tak menghendaki kedua menantunya mengikutinya ke Betlehem. Dia tak mau kedua menantunya mengalami kepahitan yang lebih parah seperti yang dia alami, jauh lebih parah daripada yang mereka berdua alami karena kehilangan suami, Elimelekh, dan kedua putranya, Mahlon dan Kilyon.
Naomi mengatakan:
1:11 “Pulanglah, anak-anakku, mengapakah kamu turut dengan aku? Bukankah tidak akan ada lagi anak laki-laki yang kulahirkan untuk dijadikan suamimu nanti?
1:12 Pulanglah, anak-anakku, pergilah, sebab sudah terlalu tua aku untuk bersuami. Seandainya pikirku: Ada harapan bagiku, dan sekalipun malam ini aku bersuami, bahkan sekalipun aku masih melahirkan anak laki-laki,
1:13 masakan kamu menanti sampai mereka dewasa? Masakan karena itu kamu harus menahan diri dan tidak bersuami? Janganlah kiranya demikian, anak-anakku, bukankah jauh lebih pahit yang aku alami dari pada kamu, sebab tangan TUHAN teracung terhadap aku?”

Dalam kata-kata perpisahannya ini, Naomi mendefinisikan relasinya terhadap kedua menantunya[2]. Kedengarannya aneh sekali. Tampaknya eksistensi Naomi bagi kedua menantunya tidak lebih dari pada hanyalah seorang pembuat laki-laki bagi mereka berdua untuk dinikahi. Karena itu, perannya selesai ketika kedua putranya telah meninggal dunia, karena dengan demikian kisahnya sebagai pembuat laki-laki pun berakhir. Lagi pula, ia sudah menjanda dan sudah terlalu tua baginya untuk bisa membuat anak laki-laki lagi bagi mereka berdua untuk dinikahi. Bahkan kalaupun mungkin, adalah hal yang mendatangkan kepahitan bagi keduanya jika harus menahan diri tak menikah selama menanti anak yang akan dilahirkan bagi mereka tumbuh dewasa.
Melihat kekosongan harapan dan kepahitan itu, Naomi menyuruh mereka pergi ke rumah ibu mereka masing-masing (1:8). Kiranya di sana mereka mendapat kasih karunia TUHAN. Secara biblis-teologis, term ‘rumah ibu’ terkait dengan ‘perkawinan’ (bdk. Kej 24:28). Dengan demikian, Naomi menyuruh kedua menantunya pulang ke rumah ibu mereka masing-masing berarti ke sana untuk menikah lagi[3]. Itulah sebabnya Naomi mengatakan pada teks 1:9, “kiranya atas karunia TUHAN kamu mendapat tempat perlindungan, masing-masing di rumah suaminya.”
Pertanyaan yang muncul adalah ‘mengapa Naomi harus menyuruh mereka pergi? Bukankah lebih baik jika mereka mendampingi dia pulang ke Betlehem, sehingga di sana dia mempunyai orang yang akan memperhatikan dia pada masa tuanya?’ Rupanya kepahitan, ketiadaan harapan, dan kekosongan yang sedang menimpa Naomi –sebagai hasil interpretasi Naomi atas masa lalunya– telah membutakan dia untuk menatap secercah harapan di masa mendatang ketika tiba di Betlehem kelak. Ia sungguh memahami bagaimana martabat seorang perempuan di tempat asalnya, Betlehem.
Secara sosio-kultural, hanya pernikahan yang membuat status sosial dan ekonomis seorang perempuan Betlehem menjadi eksis[4]. Perempuan hanya bisa mendapatkan eksistensinya jika dimiliki. Kiranya hal ini membuat kita mampu memahami kelak mengapa Boas menanyakan identitas Rut pada pertemuan pertama mereka, dengan mengatakan: ‘Dari manakah perempuan ini?’ atau ‘Siapa pemilik perempuan ini?’ (2:5).
Jelas bahwa dalam budaya patriarkat Israel, seorang perempuan muda harus dimiliki oleh seorang laki-laki. Perempuan itu barang milik, bukan pribadi[5]. Karena alasan inilah, bagi Naomi, tak ada gunanya kedua menantunya ikut pulang bersamanya ke Betlehem. Di sana mereka hanya akan menambah kepahitan, ketiadaan harapan, dan kekosongan mereka. Lagi pula, relasi mereka dengan Naomi tak lebih daripada hanya sebatas pembuat anak laki-laki bagi mereka untuk dinikahi, tetapi kini ia telah tua renta dan menjanda, sehingga perannya tak mungkin dijalankan lagi. Jadi, alangkah lebih baik jika mereka pulang ke rumah ibu mereka masing-masing, karena di sana mereka akan memperoleh kasih setia TUHAN.

b.      1:20-21
Kitab Rut bisa dikatakan mempunyai kesatuan rencana, sebuah arsitektur[6]. Setelah berdialog lama, akhirnya Naomi memperbolehkan Rut ikut pulang ke Betlehem, sedangkan Orpa pulang ke rumah ibunya. “Ketika Naomi dan Rut  masuk ke Betlehem, gemparlah seluruh kota itu karena mereka, dan perempuan-perempuan di Betlehem itu berkata: ‘Naomikah itu?’” (1:19). Akan tetapi, respons Naomi sangat lain. Dengan permainan kata atas namanya, Naomi yang artinya ‘manis-(ku)’ atau ‘kesukaan-(ku)’, merasa bahwa namanya sendiri tak cocok lagi dikenakan padanya. Lebih tepat jika ia dipanggil Mara, yang artinya ‘pahit’[7]. Perubahan nama ini pun mau mengungkapkan perubahan keadaan hidupnya, yakni dari kegembiraan menuju penderitaan[8], dari kemanisan menuju kepahitan, dari adanya harapan menuju ketiadaan harapan, dan dari kepenuhan menuju kekosongan.
Naomi sendiri mengungkapkan mengapa ia tak mau dipanggil Naomi, tetapi Mara melalui susunan kiastik ‘Yang Mahakuasa’ dan ‘YHWH’ (1:20-21), sebagai berikut[9].
Yang Mahakuasa telah melakukan banyak yang pahit kepadaku.
TUHAN memulangkan aku dengan tangan kosong.
TUHAN telah naik saksi menentang aku
Yang Mahakuasa telah mendatangkan malapetaka kepadaku.






Dari struktur ini mau dikatakan bahwa alasan Naomi pulang ke Betlehem dengan tangan kosong adalah karena TUHAN telah naik saksi menentang dia. Karena itu, TUHAN yang adalah Yang Mahakuasa itu ‘mampu’ mendatangkan banyak yang pahit dan malapetaka kepadanya. Di sini Naomi menemukan Yang Ilahi dalam masa lalunya sebagai pribadi yang mendatangkan malapetaka, yang menghancurkan kehidupan manusia[10]. Sedikit bisa kita pahami: ketika Naomi mengatakan kepada perempuan-perempuan Betlehem bahwa baik kepenuhan maupun kekosongan berasal dari YHWH, sebenarnya dia menggunakan nama Allah yang mengingatkan mereka akan kata Ibrani yang berhubungan dengan kesuburan dan penghancuran[11]. Akan tetapi, terlepas dari nama yang digunakan Naomi untuk menyebut Allah pada masa lalunya, tetaplah terkesan bahwa jawaban Naomi ini aneh.
Sebenarnya telah dikatakan sebelumnya oleh narator bahwa alasan Naomi ingin pulang ke Betlehem adalah ‘di Moab ia mendengar bahwa TUHAN telah memperhatikan umat-Nya dan memberi makanan kepada mereka’ (1:6). Selain itu, narator pun berkisah sebelumnya bahwa Naomi pulang ke Betlehem tak sendirian, tetapi bersama dengan Rut (1:19). Kata Ibrani Rut barangkali singkatan dari re’ut, yang artinya ‘teman perempuan’[12]. Dengan kata lain, Naomi pulang ke Betlehem dengan seorang ‘teman perempuan’, yang tidak lain adalah menantunya sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah ‘mengapa Naomi masih mengatakan bahwa TUHAN memulangkan dia ke Betlehem dengan tangan kosong?’
Secara kultural, telah diungkapkan di atas bahwa perempuan hanya bisa eksis jika dimiliki oleh seorang laki-laki. Kenyataannya, ketika pulang ke Betlehem, baik Rut maupun Naomi tidak dimiliki oleh laki-laki mana pun. Keduanya adalah para janda tak ‘beranak’. Dengan demikian, kesimpulan yang diambil Naomi setelah menginterpretasi masa lalunya, “…dengan tangan kosong TUHAN memulangkan aku”, bisa diterima. Namun, persoalan yang masih tersisa adalah ‘mengapa alasan utama yang mendorong dia pulang ke Betlehem pun dianggap kosong?’ Padahal, Naomi sendiri telah mendengar dari Moab bahwa TUHAN sendirilah yang memberi kepenuhan di Betlehem (1:6), sehingga dia terdorong untuk meninggalkan Moab dan pulang ke Betlehem.
Ora Dresner mengatakan bahwa pada saat itu, Naomi masih dibalut oleh rasa sakit hati yang mendalam: karena kelaparan yang menggiring dia bersama keluarganya mengungsi ke tempat asing (Moab) dan kematian suami dan kedua putranya di tempat asing itu[13]. Karena itu, ketika menginterpretasi masa lalunya, Naomi mendapati dirinya tinggal dalam kekosongan. Itulah sebabnya narator menutup Bab I ini dengan menegaskan kembali kepenuhan berkat makanan (1:6) dan kehadiran Rut (1:19) pada ayat terakhir (1:22).
‘Kehadiran Rut’ dan ‘tiba di Betlehem pada permulaan musim menuai jelai’ merupakan dua tanda oposisi dari pernyataan kekosongan, hasil interpretasi Naomi terhadap masa lalunya[14]. D. F. Rauber mengatakan bahwa sebenarnya kembalinya Naomi dan Rut ke Betlehem merupakan tanda berakhirnya kelaparan dan masa-masa pahit, ketiadaan harapan, dan kekosongan Naomi di Moab, negeri yang telah mereka tinggalkan[15]. Namun, kesadaran ini belum dicapai Naomi. Ia masih tinggal dalam kepahitan, ketiadaan harapan, dan kekosongan masa lalu.
2.      Konsekuensi dari Interpretasi (I): Naomi Pasif Menjalani Hidup di Betlehem

Awal kehidupan Naomi di Betlehem masih tinggal dalam kepahitan masa lalu, ketiadaan harapan masa depan, dan kekosongan masa kini. Karena itu, Rut mengambil inisiatif untuk keluar dari keterpurukan ini[16]. Rut meminta persetujuan Naomi untuk pergi ke ladang dan memungut bulir-bulir jelai yang ditinggalkan para penyabit guna menyambung hidupnya dan Naomi.
Rut berkata kepada Naomi, “Biarkanlah aku pergi ke ladang memungut bulir-bulir jelai di belakang orang yang murah hati kepadaku” (2:2a). Dari kata-katanya, tampak bahwa Rut masih melihat adanya peluang untuk bisa bertahan hidup, dan dia bertindak untuk merebut peluang itu, sedangkan Naomi pasif saja karena ketiadaan harapan. Meskipun demikian, Naomi menyetujui permintaan Rut untuk pergi memungut bulir-bulir jelai yang ditinggalkan para penyabit. Bahkan kini ia menyapa Rut dengan sebuah bahasa yang intim, “Pergilah, anakku” (2:2a).
Tindakan memungut bulir jelai yang dilakukan Rut mempunyai dua arti[17], antara lain; 1) memungut di tepi setiap ladang; dan 2) memungut yang ditinggalkan para penyabit –bagi orang miskin dan penduduk asing yang tidak mempunyai tanah untuk digarap (Im 19:9-10; 23:22; Ul 24:19-22).
Dalam hukum dan tradisi Israel ini, para penyabit tidak boleh memungut habis hasil tanahnya sampai ke tepinya dan janganlah juga mereka memungut ulang berkas-berkas gandum yang ketinggalan pada saat menuai. Alasannya, semua berkas gandum yang tertinggal itu menjadi milik orang miskin, janda, orang yang tak dikenal (orang asing), dan yatim-piatu –karena mereka pun mempunyai hak menuai pada musim menuai[18]. Namun, semua ini merupakan wujud kemurahan hati para pemilik tanah kepada mereka yang tidak mempunyai tanah untuk digarap. Dengan demikian, inisiatif Rut untuk meminta persetujuan Naomi, yang diikuti dengan tindakannya untuk pergi memungut bulir-bulir jelai di belakang para penyabit, bisa kita katakan sebagai keterbukaan Rut terhadap kemurahan hati orang lain. Rut masih melihat adanya kepenuhan yang bisa ditimba, sedangkan Naomi masih tinggal dalam kekosongan.


C.    Interpretasi II
1.      Interpretasi (II) Masa Lalu di Moab: Re-interpretasi terhadap teks 1:21a
Situasi berubah ketika Rut pulang dari ladang tempat ia memungut bulir-bulir jelai. Naomi kaget melihat apa yang dipungut menantunya, karena sangatlah banyak. Karena itu ia berkata, “Di mana engkau memungut dan di mana engkau bekerja hari ini? Diberkatilah kiranya orang yang telah memperhatikan engkau itu!” (2:19a). “Lalu diceritakannyalah kepada mertuanya itu pada siapa ia bekerja, katanya: “Nama orang pada siapa aku bekerja hari ini ialah Boas”” (2:19b). Hal ini tak diduga Naomi sebelumnya. Ternyata orang yang bermurah hati itu adalah sanaknya sendiri.
Kenyataan ini menggoncang Naomi bangkit dari ketiadaan harapan dan menarik dia keluar dari kekosongan serta memberi dia setetes awal rasa manis. Kini hidupnya mulai ditransformasikan[19] menuju suatu masa depan yang ‘penuh’ harapan dan kemanisan. Secara perlahan, interpretasi terhadap masa lalunya (1:20-21) direinterpretasikan kembali. Ia mulai melihat bahwa TUHAN bukanlah pemberi malapetaka dan kepahitan, juga TUHAN tidak pernah naik saksi menentang dia, serta mengantar dia pada suatu kekosongan. Karena itu, ia berkata, “Diberkatilah kiranya orang itu oleh TUHAN yang rela mengaruniakan kasih setia-Nya kepada orang-orang yang hidup dan yang mati” (2:20a).
Sampai di sini barulah Naomi mengakui Rut sebagai bagian dari keluarganya[20]. Ia menjelaskan kepada menantunya, “Orang itu kaum kerabat kita, dialah salah seorang yang wajib menebus kita” (2:20b). Dengan kata lain, Naomi mulai sadar bahwa kedatangannya kembali ke Betlehem tidak sendirian, tetapi bersama Rut, menantunya (menegaskan pernyataan narator pada 1:19, 22). Ia tidak pulang ke Betlehem dengan tangan kosong, tetapi bersama seorang ‘Rut’ (Ibr. re’ut = ‘teman perempuan’). Bahkan kini Naomi tak hanya melihat Rut sebagai perempuan biasa, tetapi seorang yang sangat setia dan menjadi mediator dari transformasi kehidupannya[21]. Dengan demikian, Naomi pun memperbarui eksistensinya bagi Rut. Peran Naomi bukan lagi sebatas pembuat laki-laki bagi Rut (dan Orpa) untuk dinikahi, melainkan lebih daripada itu adalah sebagai ibu, yang bisa mendatangkan kemanisan bagi mereka. Hal ini tampak jelas dalam sapaan intim yang digunakan Naomi untuk menyapa Rut: “Ya anakku,…, supaya engkau jangan disusahi orang di ladang lain” (2:22). Sebaliknya, kehadiran Rut bagi Naomi pun dipertegas narator, yakni sebagai anak (menantu) yang setia melayani mertuanya, khususnya dalam urusan makan minum (2:23).
Sampai di sini, kekosongan Naomi karena ketiadaan makanan dan sanak keluarga menjadi tak masuk akal. Ternyata di Betlehem ia tetap didampingi Rut, yang selalu mau berjuang untuk ‘memenuhi’ kebutuhan hidupnya. Interpretasinya terhadap masa lalunya kembali direinterpretasikan. Sejak peristiwa ini, Naomi mulai bangkit dari isolasi dan keterpurukannya[22]. Dalam reinterpretasi terhadap masa lalunya, ia menemukan bahwa ‘Yang Mahakuasa’ yang dulunya mendatangkan kepahitan, malapetaka, serta naik saksi menentang dia dan menggiring dia pada suatu kekosongan (1:20-21), kini tampil sebagai “YHWH yang rela mengaruniakan kasih setia-Nya kepada orang-orang yang hidup dan yang mati” (2:20) serta memberikan kepenuhan.

2.      Konsekuensi dari Interpretasi (II): Memaknai Masa Kininya di Betlehem
Naomi telah sadar bahwa kekosongannya akan segera berakhir. Namun, ia harus segera melakukan usaha-usaha untuk mencapai kepenuhan, sebab jika tidak, kelaparan, kepahitan, malapetaka, dan kekosongan akan kembali menyapa, ketika musim menuai gandum telah berakhir. Kemendesakan usaha pemenuhan ini tampak jelas dalam konklusi yang dikisahkan narator pada ayat 23, yang bernuansa suatu peringatan keras[23]. Karena itu, Naomi mulai merancang rencana untuk mencari tempat perlindungan bagi Rut –yang dengan demikian memberi kenyamanan juga baginya (Naomi)– yakni dengan usaha untuk menikahkan Rut dan Boas (3:1-5). Ia mulai bergerak dari keterpurukannya sebagai korban menjadi agen perubahan dan penerima berkat[24]. Ia yakin bahwa YHWH pasti memperhatikan usahanya, seperti yang telah ditunjukkan kepadanya melalui kemurahan hati Boas pada Rut di ladang gandum, pada pertemuan pertama mereka (2:8-17).
Usahanya berhasil. Walaupun narator diam saja (apakah terjadi hubungan seksual antara Boas dan Rut malam itu atau tidak), tetapi tetap saja sikap dan tindakan Rut (datang ke tempat pengirikan dan berbaring di samping seorang lelaki yang bukan suaminya yang sedang tidur) adalah suatu skandal menurut standar kebiasaan di mana ia tinggal sekrang[25].  Karena itu, waktu Rut pulang dari tempat pengirikan setelah semalam tidur bersama Boas dan menceritakan segala yang terjadi (3:16-17), Naomi dengan santai berkata, “Duduk sajalah menanti, anakku, sampai engkau mengetahui, bagaimana kesudahan perkara itu; sebab orang itu tidak akan berhenti, sebelum diselesaikannya perkara itu pada hari ini juga.” Boas takut masalah ini diketahui publik[26]. Karena itu, Boas dan sanak terdekat yang anonim seolah-olah dengan sangat cakap mempermainkan tiga jenis hukum[27], yaitu hukum perkawinan levirat (25:5-10), hukum tentang penebusan (Im 25:25 dan 27: 9-33), dan hukum tentang kepemilikan (Bil 27:1-11), sehingga segala hal berjalan legalitis. Akhirnya, mereka mencapai kesepakatan dan men-sah-kan kesepakatan itu secara ritual dan legalistis sekaligus (4:7). Lalu Boas menebus tanah Naomi, juga mengambil Rut sebagai istrinya dan menghampirinya. “Atas karunia TUHAN perempuan itu mengandung…”: meskipun konsumasi dalam perkawinan adalah aktivitas manusia, mengandung seorang anak tetaplah dikatakan sebagai pemberian Allah (Kej 21:1-2; 25:21; 29:31-32; 30:22-23)[28].
Akhirnya, anak itu pun lahir. Akan tetapi, anehnya pujian dari para perempuan Betlehem itu tidak menyebut anak itu sebagai penebus dan pewaris dari Mahlon atau Elimelek, tetapi dari Naomi. Begitu pula dengan pemberian nama anak itu, tidak dihubungkan dengan Elimelek atau Mahlon, tetapi dengan Naomi: “Pada Naomi telah lahir seorang anak laki-laki” (4:17). Ternyata para perempuan Betlehem memandang Obed lebih daripada sekadar penebus. Mereka melihat bahwa Allah telah mengembalikan hidup Naomi dari kekosongan yang memahitkan menjadi kepenuhan yang memaniskan dan penuh harapan.

D.    Penutup
Naomi adalah karakter dalam Kitab Rut yang paling mencerminkan sikap dan pengalaman manusia akan Allah. Kita sering memahami Allah seturut kehendak kita. Padahal, Allah telah merancang segala yang terbaik untuk kita. Bahkan di balik suatu peristiwa yang memahitkan pun di sana Allah hadir. Sekarang tergantung pada kita: apakah kita pasrah pada pengalaman masa lalu kita yang pahit, tanpa harapan, dan hanya terpampang kekosongan, ataukah kita mau melihat kehadiran Allah di balik peristiwa-peristiwa hidup kita, dan berani untuk melangkah maju.
Naomi telah memberi contoh yang baik dalam tulisan kecil ini. Ada saat dia tinggal dalam kekosongan, tetapi ada saat dia bangkit dan berusaha untuk mencapai kepenuhan. Semua ini hanya bisa terjadi jika kita melibatkan Allah dalam menginterpretsikan atau memberi makna pada pengalaman masa lalu kita. Dengan demikian, tak ada jalan buntu bagi kita, sebab Allah membuat segalanya mungkin.




Yogyakarta 2013
Metodius Manek, CMF


[1] Phyllis Trible, Two Women in A Man's World: A Reading of the Book of Ruth, Soundings: An Interdisciplinary Journal, Vol. 59, No. 3 (Fall 1976), pp. 251-279, Penn State University Press, http://www.jstor.org/stable/41177998, diakses 14/04/2014, pukul 09:20 WIB, hlm. 259.
[2] Jan Wojcik, Improvising Rules in the Book of Ruth, PMLA, Vol. 100, No. 2 (Mar., 1985), pp. 145-153, Modern Language Association, http://www.jstor.org/stable/462286 diakses 14/04/2014, pukul 09:11 WIB, hlm. 147.
[3] The New Interpreter’s® Study Bible, New Revised Standard Version with the Apocrypha, Abingdon Press, Nashville 2003, hlm. 385.
[4] The New Interpreter’s® Study Bible, hlm. 385.
[5] Phyllis Trible, Two Women in A Man's World: A Reading of the Book of Ruth, hlm. 260.
[6] Stephen Bertman, Symmetrical Design in the Book of Ruth, Journal of Biblical Literature, Vol. 84, No. 2 (Jun., 1965), pp. 165-168, The Society of Biblical Literature, http://www.jstor.org/stable/3264139  diakses 14/04/2014, pukul 09:13 WIB, hlm. 168.
[7] Paul J. Achtemeier, dkk. (eds.), Harper’s Bible Dictionary, Theological Publication in India, Bangalor-India 1999, hlm. 687.
[8] David Noel Freedman, dkk. (eds.), The Anchor Bible Dictionary, Vol. IV (K-N), BDD Publication Group, Inc., New York 1992, hlm. 513.
[9] David Noel Freedman, dkk. (eds.), The Anchor Bible Dictionary, Vol. V (O-Sh), BDD Publication Group, Inc., New York 1992, hlm. 844.
[10] Phyllis Trible, Two Women in A Man's World: A Reading of the Book of Ruth, hlm. 259.
[11] The New Interpreter’s® Study Bible, hlm. 386.
[12] Ensiklopedi Alkitab Masa kini, Jilid II: M-Z, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, Jakarta 1995, diterj. dari judul asli “The New Bible Dictionary”, Inter-Varsity, England 1988, hlm. 333.
[13] Ora Dresner, Mourning and Loss and the Life Cycle in the Book of Ruth Bible Week 2006, European Judaism: A Journal for the New Europe, Vol. 40, No. 2 (Autumn 2007), pp.132-139, Berghahn Books, http://www.jstor.org/stable/41443911  diakses 14/04/2014, pukul 09:15 WIB, hlm. 135.
[14] Phyllis Trible, Two Women in A Man's World: A Reading of the Book of Ruth, hlm. 259.
[15] D. F. Rauber, Literature Values in the Biblel: The Book of Ruth, Journal of Biblical Literature 89 (1970), hlm. 27-37.
[16] Phyllis Trible, Two Women in A Man's World: A Reading of the Book of Ruth, hlm. 260.
[17] The New Interpreter’s® Study Bible, hlm. 386-387.
[18] Donald Senior, dkk. (eds.), The Catholic Study Bible, New American Bible, Oxford University Press, New York 1990, hlm. 280.
[19] Phyllis Trible, Two Women in A Man's World: A Reading of the Book of Ruth, hlm. 263.
[20] Phyllis Trible, Two Women in A Man's World: A Reading of the Book of Ruth, hlm. 263.
[21] Phyllis Trible, Two Women in A Man's World: A Reading of the Book of Ruth, hlm. 277.
[22] Jan Wojcik, Improvising Rules in the Book of Ruth, hlm. 149.
[23] Phyllis Trible, Two Women in A Man's World: A Reading of the Book of Ruth, hlm. 265.
[24] David Noel Freedman, dkk. (eds.), The Anchor Bible Dictionary, Vol. V (O-Sh), hlm. 845.
[25] The New Interpreter’s® Study Bible, hlm. 388.
[26] Jan Wojcik, Improvising Rules in the Book of Ruth, hlm. 150.
[27] David Noel Freedman, dkk. (eds.), The Anchor Bible Dictionary, Vol. V (O-Sh), hlm. 845.
[28] The New Interpreter’s® Study Bible, hlm. 390.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...