Semua tertawa.
Semua menyindir. Semua mengejek. Semua tak serius. Semua berkedok. Semua
membunuhku dengan pujian-pujian itu. Tak ada satu pun yang jujur. Yah… semua
pujian itu ternyata hanyalah sandiwara untukku.
Kucoba mengadu
pandang dengan si dia. Dia kepercayaanku. Dia harapanku. Dia kehormatanku. Dia
yang kucintai, yang kuyakini mampu menarikku dari lembah ini. Namun, namun… dia
pun seorang aktris sandiwara.
Aku terpaku dan
hanya menatap. Aku diam dan membisu. Aku kaku dan mematung. Hanya itulah yang
mampu kulakukan. Hanya itulah aku.
Aku bagai tiada.
Yah…, aku sungguh tiada. Memang aku tiada. Aku dulu tiada dan akan tiada.
Akulah ketiadaan; bahkan aku kurang dari ketiadaan karena aku berdosa –sedang
ketiadaan tidak berdosa.
Aku bertanya, “Apa
gunanya ketiadaanku? Mengapa aku harus ada kalau aku hanyalah ketiadaan –bahkan
kekurangan dari ketiadaan?”
Aku kembali
mengadu pandang. Kuberadu dengan si dia. Dia harapanku. Dia kehormatanku. Dia
cintaku.
Ia tersenyum.
Lalu, ia tertawa menggoda. Namun, aku tak mampu menggerakan diriku yang sudah
dari tadi mematung. Aku tak mampu menggerakan bibirku apalagi tersenyum. Aku
tak mampu berkata apalagi tertawa.
Mulutku terkatup
rapat. Bibirku seperti dijahit. Lidahku seperti direkat. Langit-langit mulutku
seperti disayat beling. Tenggorokanku kering-gersang. Mulutku seperti disambar
jago merah. Lebih-lebih, setelah kupastikan bahwa ia tersenyum padaku –ia
tertawa denganku.
Aku malu
memandangnya. Aku tak sudi memandangnya. Aku rapuh memandangnya. Namun, aku
memaksa diriku untuk memandangnya. Aku membekukan diriku saat memandangnya biar
tak terbakar sorotan matanya. Aku membasahi wajahku biar tak dihanguskan
pancaran wajahnya.
Semua itu tak
kuasa. Semua yang telah kurancang untuk membentengi diriku tak mampu
menahannya. Sorotan matanya menembus bola mataku. Pancaran sinar wajahnya
menghanguskan wajahku –wajah keegoisanku, wajah kekanakanku, wajah kerapuhanku.
Aku kini hangus,
tapi aku tetap ada. Aku tak tiada. Semakin aku hangus dibakarnya semakin aku
ada. Kini aku tahu. Ia kehormatanku, kepercayaanku, harapanku, cintaku,
membakar aku dengan cintanya. Kini aku
sadar bahwa aku ada karena cinta dan untuk cinta aku ada.
***
Ternyata, ia
bukanlah seorang aktris. Ia bukan seorang pemain sandiwara. Apalagi pemain
sinetron: bukan! Ia bukanlah itu.
Aku yakin sekarang
bahwa tak mungkin ia pun menyindirku, mengejekku, menertawakanku sekalipun aku
salah, seperti kebanyakan orang. Aku yakin dia tidak berkedok. Dialah yang
meyakinkan bahwa aku ada. Dialah cintaku.
Timor 2011/2012
Todi Manek, CMF
Komentar
Posting Komentar