Langsung ke konten utama

BUKAN AKU LAGI



          Sejak kecil aku suka mendaki gunung. Apalagi mendaki bersama teman-teman, itu impianku di masa kecil. Aku sering mengajak teman-temanku piknik ke puncak. Di sana, kami menghabiskan waktu untuk bermain bersama.
          Hari Minggu, itulah hari terindah bagiku saat itu. Hari Minggu adalah hari bebas bagiku. Aku hampir tak dikontrol oleh kedua orang tuaku dan saudara-saudariku pada setiap Hari Minggu. Sungguh, Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku.
          Hampir setiap minggu, anak-anak sebaya di kampungku menghabiskan waktu separuh hari bersama di suatu tempat. Kami biasanya memilih satu tempat yang indah dan nyaman. Tempat itu biasanya kami sepakati setelah merayakan Ibadat Sabda Hari Minggu di Kapela. Meskipun hanya Ibadat Sabda setiap minggu, tapi kami semua tak pernah tak hadir. Kami selalu rajin ke Kapela untuk mengikuti Ibadat Sabda. Kami semua tak tega kehilangan satu Hari Minggu pun.
          Hari Minggu sungguh hari indah bagi kami. Hari Minggu adalah hari perkumpulan raya bagi semua orang di Kampungku. Apalagi anak-anak, Hari Minggu adalah hari untuk bermain bersama bagi anak-anak sekampung. Kami anak-anak sekampung berkumpul hanya pada satu tempat yang telah disepakati sebagai tempat  untuk bermain bersama. Kami tak berpencar-pencar. Itulah kebiasaan bagi anak-anak di Kampungku: hanya bermain pada satu tempat yang telah disepakati. Di sanalah kami bermain bersama-sama penuh canda dan tawa serta keceriaan.
          Aku pasti tak pernah absen. Aku selalu menghadiri perkumpulan Hari Minggu itu. Aku tak mau membiarkannya pergi begitu saja. Aku tak ingin seminggu berlalu tanpa aku. Di mana ada bocah-bocah mungil yang bermain bersama, di situ pasti ada aku. Ya pasti…, pasti aku ada, karena hanya Hari Minggu sajalah aku diizinkan kedua orang tuaku bermain bersama teman-teman.
          Bukan karena aku mau dibatasi oleh kedua orang tuaku dalam pergaulan sehingga aku tidak diizinkan bermain bersama teman-teman pada hari-hari lain selain hari minggu. Tidak! Bukan itu alasannya! Orang tuaku sangat senang aku mempunyai banyak teman. Bahkan mereka mengizinkan aku mengajak teman-temanku ke rumah. Entah teman yang baik maupun yang kurang baik sifatnya, kedua orang tuaku tak membatasiku bergaul dengan mereka.
          Aku hanya diizinkan bermain pada Hari Minggu karena pada hari-hari lain aku harus membantu kedua orang tuaku. Biasanya, dan memang selalu, aku ditugaskan untuk menggembalakan sapi. Ya, dulu aku penggembala sapi. Karena itu, tak jarang tempat bermain anak-anak sekampungku adalah tempat di mana aku menggembalakan sapi, apalagi kalau itu terjadi pada Hari Minggu atau hari libur. Biasanya, aku dan beberapa teman yang mempunyai sapi peliharaan orang tua dibantu oleh teman-teman lain menggembalakan mereka sambil bermain bersama. Karena itu, kami sangat akrab bukan hanya karena bersama dalam bermain, melainkan juga dalam bekerja membantu orang tua.
          Kata kedua orang tuaku, “Kamu harus menjadi teladan bagi mereka. Kamu kan anak guru! Kamu pun perlu belajar hal-hal yang baik dari mereka.”
***
          Suatu Hari Minggu, kami sepakat untuk pergi ke suatu puncak.
          “Yerem! Oke tnao on me?” (artinya “Yerem! Ke manakah kita nanti?”), tanya seorang teman padaku.
          Sambil berpaling pada teman-teman lain, aku menawarkan, “Hoe lian in…, oke tnao on Tub’bubu! Hi mloem ka? (artinya “Hei teman-teman…, nanti kita pergi ke Tub’bubu! Apakah kalian setuju?”).
          “Neu…., bale nae naleko msa! Oke atnao!” (artinya, “Baiklah…, tempat itu  baik juga! Nanti kita jadi pergi!”), jawab mereka semua sepakat dengan tawaranku piknik ke Tub’bubu.
***
          Langkah demi langkah mengukir setapak menuju Tub’bubu. Canda dan tawa mengiringi perjalanan kami. Keceriaan mendandani gerak jalan kami. Sukacita menghapus kepenatan seminggu di Sekolah. Bibir kami tersenyum. Mulut kami bersorak ria. Suara kami menggemakan pujian. Hati kami pun menggetarkan nada-nada cinta.
          Tak ada yang sedih. Tak ada yang kesepian. Tak ada yang tak bersama. Tak ada yang tak ada. Semua ada. Ada dalam kebersamaan. Bersama ada dalam kebersamaan.
          Kami saling menuntun mendaki ke puncak Tub’bubu. Apalagi bagi yang bertubuh kecil dan lemah: kami memapah mereka sampai ke puncak. Kami tak mau membuat mereka sedih. Kami tak mau membiarkan mereka sendiri berjuang. Kami tak mau mereka terperosok jatuh ke lembah yang penuh semak duri dan kerikil-kerikil tajam. Kami tak mau ada yang tak merasa bahagia dalam perjalanan kami. Kami tak mau mereka merasa diasingkan. Kami tak ingin mereka merasa tidak dipedulikan. Kami tak mau mereka merasa tidak dicintai. Sebaliknya, kami mau mereka merasa dicintai, dan memang mereka merasa dicintai karena kami sungguh mencintai mereka.
***
          Kini, aku telah dewasa. Aku malu melihat diriku sekarang: diri yang tak mampu mencintai, diri yang egois. Aku malu melihat diriku yang hanya mau mencintai karena ingin balik dicintai.
          Aku iri melihat diriku yang dulu: yang mungil, yang polos, yang lembut, yang penuh rasa budi dan pikiran hati. Diriku itu seperti telah sirna. Ya itu…, itu, itu dia diriku di masa kecilku telah pergi. Dia telah tiada, dan aku sekarang bukan diriku itu lagi.
          Aku bukan yang itu lagi. Bukan! Aku bukan aku lagi. Aku telah lain. Padahal, akulah yang itu. Itu diriku; itulah diriku yang sebenarnya. Kini, aku bukan lagi diriku. Sungguh, aku telah lain. Aku lain sekarang, dan aku bukan aku lagi. (bersambung….sambung sendiri biar sampai di puncak Golgota…, owh… lupa! Maksudnya, sampai di puncak Tub’bubu).


Todi Manek, CMF

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...