Langsung ke konten utama

Pengetahuan sebagai Anak Zaman



Judul Artikel: The Changing Image of God in Process Philosophy
Pengarang: Rev. Fr. Salvador P. Barcelona
Sumber artikel: Kritike Volume One Number One (Juni 2007), 96-113.

Tesis pokoknya: Pengetahuan kita tentang Allah baik dalam bentuk pernyataan filosofis maupun kebenaran teologis merupakan gambaran yang tidak sempurna dari gambaran kita terhadap misteri Allah, karena setiap perspektif hanya merupakan satu perspektif yang dibatasi ruang dan waktu.
Menjabarkan tesis pokok ini, Rev. Fr. Salvador P. Barcelona membandingkan pemikiran atau konsep Tuhan dalam filsafat Klasik (juga berbagai filsafat sebelumnya) dengan konsep Tuhan yang dikembangkan Charles Hartshorne dalam filsafat prosesnya. Barcelona terlebih dahulu menunjukkan bagaimana konsep Tuhan pada zaman filsafat Klasik, juga dalam tradisi Kristen, lalu mengkritisi konsep-konsep itu dengan filsafat prosesnya Hartshorne. Barcelona memulai uraian tesis pokoknya dengan suatu uraian epistemologis, khususnya bagaimana seseorang (juga Allah) mampu mengetahui sesuatu.

1.      Dasar Epistemologis
Menurutnya, mengetahui sesuatu berarti berada dalam relasi timbal balik antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Ketika seseorang berusaha mengenal sesuatu, tampak bahwa objek yang ingin dikenal itu pasif saja, dan memang begitulah kesan umum kita. Namun, sebenarnya objek itu tidak pasif. Objek itu pun mempengaruhi subjek yang ingin mengenal atau mengetahuinya. Itulah sebabnya subjek merasa tertarik untuk mengenal objek itu lebih jauh. Dengan demikian, subjek mengetahui banyak hal mengenai objek. Jadi, pengetahuan kita tidak lain merupakan suatu proses eksplorasi terus-menerus, yaitu ada relasi timbal balik antara subjek yang ingin mengetahui dan objek yang diketahui.

2.      Ketidakmemadaian Jawaban Filsafat Klasik
Konsep epistemologis tentang ‘apa itu pengetahuan?’ ini kemudian diperhadapkan Barcelona dengan konsep filsafat Klasik tentang Allah yang dipahami sebagai atus purus. Allah dalam filsfat Klasik ini dipahami sebagai aktus murni, tanpa potensi, dan karena itu, tidak berubah, permanen, dan tidak dapat dipengaruhi. Namun, persolan yang dimunculkan Barcelona adalah “apalah artinya doa-sembah sujud dan pemberian persembahan manusia kalau Allah tidak pernah berubah?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, Barcelona menganalisis fenomena Allah berubah atau menjadi dalam Kitab Suci (PL dan PB), karena dipengaruhi doa dan persembahan manusia. Dalam Kel 3, tampak bahwa Allah dipengaruhi oleh jeritan penderitaan Israel, sehingga Allah mengutus Musa ke Mesir. Para ekseget menafsirkan teks ini dengan mengatakan bahwa Allah tidak berubah atau menjadi, tetapi di sini Allah mau menunjukkan permanensi cinta-Nya kepada bangsa Israel, meskipun mereka tidak taat atau setia untuk membalas cinta-Nya. Jadi, menurut para ekseget dan pemikir Klasik, Allah bertindak menyelamatkan manusia semata-mata hanya karena Dia adalah cinta. Namun, Barcelona kembali melontarkan pertanyaan: jika demikan, untuk apa kita (manusia) berdoa dan memberi persembahan pada-Nya? Bukankah persembahan dan doa kita itu yang menggerakkan hati Allah dan mau mengasihani kita lagi?
Menjawab pertanyaan ini, para pemikir Klasik (ekseget, teolog, dan filsuf Klasik) sepikiran dengan apa yang dikatakan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 619:
‘manusia diciptakan untuk mengenal dan memuliakan Allah. Karena itu, menyembah Allah adalah suatu keharusan. Kenyataannya, kita sering membuat persembahan atau sesaji. Itulah sebabnya Allah menghendaki Musa mengeluarkan bangsa Israel dari Mesir untuk pergi dan menyembah Allah di padang gurun.’
Karena itu, jika diungkapkan dalam Kitab Suci (baik PL maupun PB) bahwa Allah terpengaruh oleh doa dan persembahan manusia, bagi para pemikir Klasik, hal demikian terjadi karena para penulis Kitab Suci merumuskan relasi Allah dan manusia secara antropomorfistik. Bagi Hartshorne, jawaban klasik ini tidaklah memadai.

3.      Perubahan Allah yang Sempurna
Berhadapan dengan semua jawaban Klasik ini, Barcelona dengan mengikuti filsafat prosesnya Hartshorne, dengan tegas ia menolaknya. Menurutnya, Allah itu terpengaruh oleh doa dan persembahan manusia. Allah yang sempurna itu bisa berubah, tegasnya. Allah itu memang sempurna, tetapi bukan tidak dapat berubah –dan ‘perubahan’ atau ‘kemenjadian’ Allah ini tidak berarti menegasi kesempurnaan-Nya, tatapi justru sebaliknya mengafirmasi kesempurnaan-Nya.
Kembali pada pertanyaan tadi, “mengapa manusia harus berdoa dan memberi persembahan jika tidak mempunyai pengaruh apa pun terhadap Allah?” Menurut Hartshorne, kesempurnaan berarti ‘melampaui segala sesuatu’. Allah itu sempurna. Ia melampaui segala sesuatu. Itulah sebabnya manusia berdoa dan menyampaikan persembahan  serta bersembah sujud kepada-Nya. Sangatlah tidak mungkin manusia menyembah sesamanya manusia, karena relasi antarmanusia itu sifatnya horizontal. Jadi, alasan manusia berdoa, memberi persembahan, dan menyembah Tuhan adalah karena Tuhan itu sempurna, dalam arti ‘melampaui segala sesuatu’, Ia menjadi jaminan bagi manusia, bukan karena manusia diciptakan untuk menyembah-Nya.

4.      Refleksi Pribadi: Pengetahuan sebagai Anak zaman
Tampak bahwa kedua pemikiran ini masuk akal, dan karena itu bisa diterima. Akan tetapi, kita sulit untuk menerapkan konsep Tuhan zaman Klasik dalam Filsfat Prosesnya Hartshorne, demikian pula sebaliknya. Kita tidak bisa seenaknya saja mengatakan bahwa konsep Tuhan zaman Klasik tidak tepat, atau sebaliknya konsep Tuhan dalam filsafat Hartshorne yang tidak benar. Kedua konsep tentang Tuhan ini sama-sama benar dalam zamannya masing-masing.

Inilah yang dimaksudkan Barcelona dengan tesis pokoknya di atas, yakni gambaran kita tentang Tuhan tidaklah seutuhnya menggambarkan siapa itu Tuhan –karena perspektif yang kita gunakan hanyalah salah satu perspektif yang dibatasi ruang dan waktu tertentu. Dengan demikan, kita bisa mengatakan bahwa pengetahuan apa pun, termasuk konsep kita tentang Tuhan, ternyata hanyalah anak dari suatu zaman. Itulah sebabnya mengapa dalam penjelasan mengenai epistemologinya (‘bagaimana kita mengetahui sesuatu?’), Barcelona mengartikannya sebagai  suatu proses eksplorasi terus-menerus, yaitu ada relasi timbal balik antara subjek yang ingin mengetahui dan objek yang diketahui. Apalagi usaha memahami Allah tidak bisa tidak manusia harus masuk dalam relasi timbal balik dengan-Nya, karena Dia adalah Misteri.


Yogyakarta, 2014
Metodius Manek, CMF






Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...