Langsung ke konten utama

Mengapa Perayaan Tahbisan Itu Harus Meriah?

Raihenek-Mutin Timor Leste

Hai sobat, barangkali kamu pernah ditanya atau kamu sendiri bertanya-tanya mengenai kenyataan ini. Mengapa setiap perayaan tahbisan itu selalu meriah?

Saya pun pernah ditanya demikian: “Mengapa perayaan tahbisan (Diakon, Imam, atau Uskup) di daerahmu (NTT) selalu dilaksanakan dengan sangat meriah?”


Sambil mengingat berbagai diskusi mengenai keadaan daerah saya yang masih terbelakang dalam hal ekonomi, saya menjawabnya dengan menunjukkan dasar-dasar hukum gereja Katolik berikut ini. Kurang lebih ada dua kanon dalam Kitab Hukum Kanonik (1983) yang secara eksplisit menegaskan hal ini. (Catatan: “Kitab Hukum Kanonik” adalah kitab hukumnya orang Katolik, terutama untuk Gereja «Ritus» Latin [lih. Kanon 1 dari kitab ini]). Bunyinya sebagai berikut.

Kanon 1010 “Penahbisan (Diakon, Imam, atau Uskup) HENDAKNYA dirayakan dalam Misa meriah, pada hari Minggu atau hari raya wajib, tetapi atas alasan pastoral juga dapat dilaksanakan pada hari-hari lain, tak terkecuali hari-hari biasa”.

Kanon 1011–§2 “Pada penahbisan itu (entah tahbisan Diakon, entah tahbisan Imam, entah tahbisan Uskup) HARUSLAH diundang para klerikus dan umat beriman kristiani lain, agar perayaan itu dihadiri oleh sebanyak mungkin orang”.

Ada dua pilihan kata yang bagi saya menarik untuk diperhatikan. Saya menunjukkannya dengan huruf KAPITAL, yaitu kata “HENDAKNYA” (Kan. 1010) dan kata “HARUSLAH” (Kan. 1011–§2). Dari kata-kata ini, kita bisa mengatakan demikian. Tahbisan-tahbisan itu (Diakon, Imam, atau Uskup) tidak harus dirayakan dalam Misa meriah (yaitu Misa Hari Minggu atau Hari Wajib lainnya), karena Kanon hanya menganjurkan, sebagaimana tampak dengan diksi “hendaknya”; dengan kata lain, kanon ini tidak mewajibkan. Akan tetapi, dalam perayaan tahbisan-tahbisan itu, banyak orang harus hadir. Oleh karena itu, mereka “haruslah diundang”. Dengan kata lain, mengundang sebanyak mungkin orang untuk menghadiri tahbisan itu sebuah kewajiban, bukan pilihan manasuka.

Siapa saja yang harus diundang? Yang wajib diundang adalah para klerikus (Uskup, Imam, dan Diakon) dan umat beriman kristiani lainnya (semua orang yang sudah dibaptis). Yang tidak wajib diundang atau yang hendaknya diundang adalah mereka yang tidak disebutkan dalam kanon tersebut.

Kesimpulan: pesan untuk yang mau ditahbiskan, jangan merahasiakan tahbisan Anda (hahahaha). Jangan beralibi tidak mau merepotkan orang lain sehingga tidak mau mengundang orang lain untuk menghadiri tahbisan Anda. Kalau Anda masih berpikir demikian, sayang sekali, Anda telah melanggar hukum gereja Anda sendiri.

Semoga mencerahkan!

(NB: tulisan kecil ini hanyalah sebuah auto-kritik, tidak bermaksud menyinggung siapapun)


Yogyakarta, 13 Desember 2018
Todi Manek, CMF

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...