Langsung ke konten utama

DOA DAN SAMBUTAN PAUS FRANSISKUS

KUNJUNGAN KE BULGARIA
  Sofia-Bulgaria, 5-7 Mei 2019

Paus Fransiskus
(gambar ini diambil dari internet)

(Teks Sambutan Diterjemahkan oleh Todi Manek, CMF)


Doa Paus Fransiskus di Hadapan Para Pemimpin Agama di Bulgaria
(Nezavisimost Square in Sofia, Senin 6 Mei 2019)

Doa Damai Santo Fransiskus Assisi
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai-Mu.
Bila terjadi kebencian,
Jadikanlah aku pembawa cinta kasih;
Bila terjadi penghinaan,
Jadikanlah aku pembawa pengampunan;
Bila terjadi perselisihan,
Jadikanlah aku pembawa kerukunan;
Bila terjadi kebimbangan,
Jadikanlah aku pembawa kepastian;
Bila terjadi kesesatan,
Jadikanlah aku pembawa kebenaran;
Bila terjadi kecemasan,
Jadikanlah aku pembawa harapan;
Bila terjadi kesedihan,
Jadikanlah aku pembawa kegembiraan;
Bila terjadi kegelapan,
Jadikanlah aku pembawa terang.
Tuhan, semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur,
memahami daripada dipahami,
mencintai daripada dicintai.
Sebab dengan memberi, aku menerima;
dengan mengampuni, aku diampuni;
dengan mati suci aku bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya.
Amin.


Setelah mendoakan “Doa Damai Santo Fransiskus Assisi”, Paus Fransiskus memberikan sambutan berikut ini:

Sambutan Paus Fransiskus di Hadapan Para Pemimpin Agama di Bulgaria
(Nezavisimost Square in Sofia, Senin 6 Mei 2019)

Saudara-saudari yang terkasih,
Kita telah berdoa bagi perdamaian dalam kata-kata yang diinspirasikan oleh Santo Fransiskus dari Assisi, yang sangat besar dalam cinta kepada Allah Pencipta dan Bapa semuanya. Sebuah cinta yang telah dia tunjukan dengan kegairahan dan penghormatan mendalam yang sama demi keindahan ciptaan dan segala sesuatu yang dia temui di dalam peziarahannya. Sebuah cinta yang mengubah cara pandangnya terhadap hal-hal dan membantu dia untuk menyatakan bahwa di dalam setiap orang ada “sebuah kedipan cahaya yang lahir dari kepastian pribadi kita bahwa, kalau segala sesuatu dikatakan dan terjadi, kita dicintai tiada batasnya” (Evangelii Gaudium, 6).

Cinta itu juga telah menuntun Santo Fransiskus untuk menjadi seorang agen perdamaian (peacemaker) yang sejati. Setiap kita dipanggil untuk mengikuti jejaknya dengan menjadi agen perdamaian, seorang “tukang” perdamaian (an “artisan” of peace). Perdamaian sekaligus merupakan sebuah hadiah dan sebuah tugas; perdamaian harus dimohonkan dan diusahakan, diterima sebagai sebuah rahmat dan secara konstan dicari sepanjang perjuangan kita sehari-hari untuk membangun sebuah budaya yang di dalamnya perdamaian dihormati sebagai sebuah hak mendasar. Sebuah perdamaian yang aktif, “dibentengi” melawan semua bentuk egoisme dan indiferentisme yang membuat kita meletakan interese picik dari beberapa orang di hadapan martabat setiap orang yang tidak dapat diganggu gugat.

Perdamaian mensyaratkan dan menuntut bahwa kita mengambil dialog sebagai jalan kita, saling pengertian sebagai kode etik kita, dan pengertian resiprokal sebagai metode dan standar kita (cf. Document on Human Fraternity, Abu Dhabi, 4 February 2019). Dalam jalan ini, kita bisa fokus pada apa yang menyatukan kita, menunjukkan saling penghormatan terhadap perbedaan-perbedaan kita, dan mendorong satu sama lain untuk melihat masa depan kesempatan dan martabat, khususnya bagi generasi penerus masa depan.

Malam ini, kita telah berkumpul untuk berdoa di hadapan lampu-lampu yang dibawa oleh anak-anak kita. Lampu-lampu ini sebagai simbol api cinta yang berkobar dalam diri kita dan itu berarti menjadi sebuah menara api belas kasihan, cinta dan damai di manapun kita berada. Sebuah menara api yang dapat memancarkan sinar bagi seisi dunia kita. Dengan api cinta, kita dapat mencairkan dinginnya es (melt icy chill) perang dan konflik. Perayaan perdamaian kita dilaksanakan di puing para leluhur Serdika, di sini di Sofia, jantung hati dari Bulgaria. Dari sini, kita dapat melihat tempat-tempat penyembahan dari Gereja-gereja dan pengakuan-pengakuan religius yang berbeda-beda: Saint Nedelya dari saudara-saudari kita Orthodox, Saint Joseph dari kami orang Katolik, sinagoga dari saudara-saudara tertua kita, orang Yahudi, masjid dari saudara-saudari kita Muslim, dan yang terdekat dengan kita, Gereja Armenia.

Selama berabad-abad, orang Bulgaria di Sofia terdiri dari kelompok-kelompok budaya dan religius berbeda berkumpul di tempat ini untuk berbagai pertemuan dan diskusi. Semoga tempat simbolis ini menjadi satu saksi perdamaian. Malam ini suara kita digabungkan dalam mengekspresikan hasrat gairah (ardent desire) kita akan perdamaian. Biarlah ada perdamaian di bumi: dalam keluarga kita, dalam hati kita, dan di atas semuanya di tempat-tempat di mana banyak suara telah dibungkam oleh perang, dilumpuhkan oleh indiferentis dan diabaikan karena pengaruh yang kuat dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu. Semoga semua usaha bersama untuk mewujudkan mimpi ini menjadi kenyataan: para pemimpin agama, politik, dan kultural. Semoga setiap kita, di mana pun kita berada, dalam segala sesuatu yang kita lakukan, mampu berkata: “Tuhan, jadikanlah aku instrumen perdamaian-Mu”.

Hal ini merupakan permohonan sehingga mimpi Paus Yohanes XXIII akan menjadi kenyataan: mimpi akan satu bumi yang selalu menjadi rumah bagi perdamaian. Marilah kita berbagi dalam aspirasi tersebut, melalui kesaksian hidup, marilah kita berkata: “Damai di Bumi!” (Pacem in Terris!). Biarlah ada perdamaian di bumi kepada mereka semua yang Tuhan cintai.

Nezavisimost Square in Sofia, Senin 6 Mei 2019
Paus Fansiskus
(Penerjemah: Todi Manek, CMF)

Teks Bahasa Inggrisnya bisa dibaca pada link di bawah ini!
↓↓↓↓↓↓↓


Inilah tempat Paus Fransiskus menyampaikan
Doa Damai Santo Fransiskus Assisi dan Sambutannya
di hadapan para pemimpin beberapa agama di Bulgaria
(gambar ini diambil dari internet)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...