Langsung ke konten utama

Cinta yang Tak Bersyarat


Sayang, kamu sungguh terlalu! Mengapa pesan dari saya akhir-akhir ini kamu abaikan. Seminggu yang lalu saya mengirim pesan, tapi kamu tak membalasnya. Teman-temanmu bilang: kamu sedang sibuk saat itu. OK, saya mengerti!

Dua hari lalu, saya mengirim pesan lagi. Saya menyapamu manja, namun sayang, hanya sepi balasmu. Katanya kamu lagi santai dan tak ada kegiatan apapun. Tapi mengapa kamu setega itu? Mengapa kamu tak membalas pesanku. Tidak sadarkah kamu bahwa betapa aku sangat peduli padamu? Butakah kamu sehingga kamu tak tahu bahwa betapa aku sangat khawatir dengan keadaanmu? Atau mati rasakah kamu sehingga tak mampu lagi merasakan betapa dalamnya cintaku padamu?

Oh sayang, begitu sulitkah kamu membalas pesan-pesanku? Pesanku seminggu yang lalu kamu abaikan, aku hanya bisa diam sembari berusaha memahamimu. Dua hari lalu, kukirimkan kamu pesan lagi, tapi hanya diam balasmu. Kutunggu balasanmu seharian, tapi sia-sia saja. Kamu mencampakkanku begitu saja. Ternyata, hari ini pun sama, kukirim lagi pesan untukmu. Tapi apa balasmu? Ternyata hingga detik ini, sia-sia juga penantianku. Sayang, kamu sungguh terlalu!

Tapi ada satu hal yang kupelajari dari semua ini. Semakin aku mengharapkan balasan darimu, semakin kudapati diriku tidak tulus mencintaimu. Ternyata semakin aku mengharapkan balasan darimu, cintaku penuh dengan aneka syarat. Namun sebaliknya, semakin aku tak mengharapkan balasan darimu, cintaku semakin tulus dan suci kepadamu.

Terima kasih sayang, dikau telah mengajarkanku bagaimana merajut sebuah kisah cinta yang murni. Itulah cinta yang tak bersyarat, mencintai tanpa mengharapkan balasan.

Tawangmangu, 5 Agustus 2018
Salam Hangat Dariku,


Metodius Manek, CMF

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...