(Renungan untuk PIR-OMK Paroki Keluarga Kudus
Banteng Yogyakarta)
Wisma Skolastikat Claretian (CMF)
Yogyakarta-11 Juli 2015
Rasanya terlalu berlebihan untuk
mengatakan bahwa betapa bahagia hatiku melihat wajah Anda semua ceria. Tapi
itulah rasa yang kini membalut hatiku. Meski baru sekali duduk bersama, tapi
rasanya begitu nyaman. Tak tahan rasanya ingin mengenal Anda satu per satu.
Kuingin mengenal Anda semua, juga kuingin merasakan apa yang tengah bergejolak
di dalam hatimu. Karena kuyakin ada rasa yang sama sehingga memacu hasratku
untuk segera mendekap gelora gairah hidupmu. Kuharap kita berada di ‘line’, di
jalur, di frekwensi yang sama. Aturlah frekwensi hatimu agar kita mengudara di
jalur yang satu dan sama.
Suatu malam kumenyusuri beranda
kota Jogja. Di sana kutemui banyak keluarga menghabiskan makan malam yang
ditaburi senyum dan tawa. Canda ria menghiasi alun-alun kota hingga membuatku
terpaku terpana menyaksikan semua itu. Sejenak terbersit dalam benakku, betapa
bahagia sudut-sudut kota ini, betapa girang tembok-tembok kota, betapa ceria
kelap-kelip lampu taman, sampai rumput taman pun bersorak ria meski diinjak
berkali-kali para pengunjung malam itu.
Sudah 30 menit berlalu. Tapi aku
masih terdiam membisu di salah satu sudut kota ini. Aku bersandar terpaku pada
tembok alun-alun yang megah bagai patung pahlawan bangsa yang diabaikan masyarakat
kota. Kulayangkan pandaganku. Ternyata di sudut lain, mataku menangkap sepasang
kekasih. Mereka pasangan yang sangat serasi. Ya, perawakan mereka mengatakan
mereka begitu serasi. Tapi penglihatanku yang dalam berkata lain.
Bola mataku menangkap kerut
kening, hentakan tangan yang keras, dan moncong panjang yang tengah membual
bisa. Berkali-kali si gadis manis berpipi lesung merintih, berteriak, dan
meraung: “Kamu jahat! Kamu tega membuat aku merana.”
Tapi sayang sekali. Rintihan
derita si gadis dijawab dengan sekali tamparan. Eh, bukan hanya sekali,
melainkan dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali, berkali-kali. Dan
akhirnya pipi lesung manis itu memerah bagai delima merekah yang diguyur hujan
air mata.
Kubayangkan perih dan pedih si
gadis manis itu. Ingin rasanya kudekati gadis itu. Ingin kuyakinkan dia: ‘hidupnya
masih berarti’. Bukan hanya bagi kekasihnya itu, melainkan juga bagi semua
orang di alun-alun kota itu, bagi pohon-pohon yang tengah berjoget diterpa
angin malam, bagi batu-batu yang tak pernah mengeluh dihantam sepatu pengunjung
yang congkak, bagi pagar kota yang diobrak-abrik remaja dan pemuda jahil;
paling tidak hidupnya sangat berarti bagiku yang saat itu tengah berhasrat
menyuarakan sakit hatinya dalam lamunanku malam itu.
Mengenang peristiwa malam itu,
pagi ini spontan kubayangkan suatu peristiwa 2000-an tahun silam. Para murid
Yesus dihantam badai taufan di tengah danau. Diombang-ambingkan ke sana kemari.
Ombak danau mengayun tinggi perahu mereka dan tiba-tiba mengempasnya terperosok
jatuh menggulung di balik ombak dahsyat. Ketakutan mengguyur nadi mereka, hati
mereka diikat kegentaran, dan asa mereka berpasrah pada mati. Untung Yesus
mereka bawa serta di dalam perahu itu.
“Guru, Engkau tidak peduli kita
binasa?” teriak para murid membangunkan Yesus yang sedang tidur di buritan di
sebuah tilam.
Tuhan Yesus pun bangun,
menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu
angin itu reda dan danau itu teduh sekali. Lalu Yesus berkata kepada mereka: “Mengapa
kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?
Barangkali kita sering mengalami
peristiwa pilu seperti gadis dalam kisah tadi. Rasanya hidup tak berarti dan
putus asa. Tapi di tengah gejolak badai hidup dan amukan taufan zaman ini,
sudahkan kita membawa Tuhan Yesus dalam perahu kita masing-masing yang tengah
kita tumpangi menyusuri samudera ziarah hidup kita?
Pagi ini indah. Meski mendung,
tapi senyum Anda masih ceria dan tak pudar. Aku merasakan itu, dan membuat
hatiku bahagia. Inilah alasannya mengapa di awal renungan ini saya mengatakan
bahwa saya mau mengenal Anda semua. Tentu bukan hanya saya, melainkan setiap
kita pasti sudah tak tahan ingin mengenal lebih dalam satu sama lain. Rasa yang
satu dan sama ini kini bergejolak dalam hati karena Tuhan Yesus telah kita bawa
serta dalam perahu hidup kita masing-masing. Jika di antara Anda ada yang tidak
merasakan hal yang sama, haruslah Anda bertanya diri: ‘Sudahkah Tuhan Yesus
kubawa serta dalam perahu petualangan hidupku HARI INI?’
Saudara/i yang baik hati, hidup di
zaman ini ibarat hidup di tengah amukan gelombang dahsyat. Ketika badai dan
taufan datang menerpa hidup Anda, apa yang Anda buat? Masihkan di sana ada
Yesus yang tidur di buritan perahu Anda? Kalau DIA masih di sana, bangunkan DIA
dan percayakan hidupmu pada-Nya. Kalau Anda kesulitan bertemu DIA, jangan takut
dan cemas; karena dalam kebersamaan OMK ini DIA hadir.
Ketika kita berkumpul seperti
ini, Tuhan Yesus hadir; persoalan kita pun ditemukan solusinya. Akhirnya Anda
akan mengalami HAPPY ENDING seperti sepasang kekasih dalam video tadi. Meski
badai hidup menerpa, tapi mereka mau bersatu lagi dalam cinta.
Tuhan Yesus sendiri pernah
bersabda: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ
Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20).
Mari kita berkumpul dalam nama
Tuhan Yesus agar DIA hadir di tengah-tengah kita. Amin.
Yogyakarta, 11 Juli 2015
Salam Hangat dariku,
Metodius Manek, CMF

Komentar
Posting Komentar