Siapa
bilang ada ‘orang Barat’? Orang Barat itu hanya konsep abstrak. Tidak ada Orang
Barat real! Sekali lagi, itu hanyalah konsep. Barangkali Anda tidak setuju
dengan saya. Tapi biarkan saya berkisah.
Empat
tahun lalu, saya memutuskan untuk merantau ke Barat. Ya, pasti ketemu dengan orang-orang
di Barat atau lebih tepatnya ketemu orang-orang Barat. Dan benar, waktu itu
saya mulai bergaul dan belajar dari mereka. Kebetulan alamat tuju rantauan saya
adalah tempat tinggal orang-orang Jawa di Yogyakarta. Mereka hidup di bagian
barat dari daerah saya. Tepatnya di Indonesia Barat.
Banyak
hal saya pelajari dari mereka. Saya dibentuk di tanah ini, di tanah Jawa-Yogyakarta,
di tanah orang Barat. Ya, inilah tempat tinggal ‘orang Barat’, karena saya
berasal dari Timur.
Persis
sebulan yang lalu, 22-30 Oktober 2015, saya tinggal di Kroya-Cilacap. Saat saya
memperkenalkan diri, mereka bertanya tentang asal saya: “Panjenengan wong wetan, nggih?” Saya menjawab: “Nggih...!”
Dalam
benak saya, orang-orang Kroya ini sedang bertanya tentang tempat asal kelahiran
saya. Karena itu, saya menjawab “Nggih”
(Iya). Karena memang saya berasal dari Pulau Timor. Letaknya persis di bagian
Timur dari Yogyakarta ini.
Ternyata
tidak! Yang orang-orang Kroya maksud adalah tempat tinggal saya sekarang. Mereka
memandang orang Jogja sebagai wong wetan
(orang Timur) dan diri mereka sebagai wong
kulon (orang Barat). Saat itu, saya hanya diam dan tersenyum dengan seribu
satu pertanyaan.
Di
sini, di Yogyakarta, posisi saya di Barat. Hidup bersama orang-orang Barat. Tapi
mereka sendiri merasa dan menyebut diri sebagai orang Timur saat kami
berdiskusi tentang Eropa dan Amerika. Kata mereka: orang Eropa dan Amerika itu
orang-orang Barat. Orang Kroya pun memandang diri sebagai orang Timur kalau
membandingkan diri dengan orang Eropa dan Amerika.
Saya
mulai bertanya: sebenarnya siapakah ‘orang Barat’ itu? Apakah orang Jogja,
orang Kroya, atau orang Eropa dan Amerika?
Persis
di sinilah letak persoalan yang sedang saya gulati.
Orang
Jogja melihat saya sebagai orang Timur. Orang Kroya melihat orang Jogja sebagai
orang Timur. Kini saya (orang Timor Barat), orang Jogja, dan orang Kroya (juga
barangkali Anda) melihat orang Eropa dan Amerika sebagai orang Barat. Oke-lah barangkali karena sebutan ini
terkait dengan letak tempat berdasarkan arah mata angin. Kita sepakat!
Tapi
mengapa orang cenderung melihat Barat lebih baik? Bukankah kita sepakat bahwa ‘orang
Barat’ itu hanyalah konsep untuk menyebut orang-orang yang tinggal di daerah
yang letaknya di sebelah Barat dari tempat tinggal kita? Bukankah ‘barat’ itu
hanya nama untuk arah mata angin?
Mengapa
harus dikaitkan pada manusia dan menjadi sebutan ‘orang barat’, lalu dipandang
lebih baik daripada kita orang Timur ini (orang Jogja, orang Kroya, orang Atoni
Timor, dll.)?
Jangan-jangan
yang orang Eropa dan Amerika sebut sebagai ‘Barat’ itu adalah tempat atau
daerah saya dan Anda? Kan daerah-daerah bagian barat dari Eropa dan Amerika itu
daerah-daerah kita! Bukankah bumi ini bulat? Kenapa takut dengan ‘orang Barat’?
Bukankah kita ini orang Barat-nya orang Eropa dan Amerika?
Nah,
sampai di sini, mari kita menjawab pertanyaan dari saya tadi: siapa bilang ada ‘orang
Barat’? Bukankah ‘orang Barat’ itu hanyalah konsep untuk menyebut orang-orang yang
kebetulan tinggal di daerah sebelah
barat dari daerah kita?
Kalau
kita cenderung mengagungkan ‘orang Barat’, berarti kita hanya mengagungkan satu
konsep yang sesungguhnya tidak ada. Konsep ‘orang Barat’ kan hanya kata atau nama yang dipakai untuk menyebut orang yang
tinggal di bagian barat dari daerah tempat tinggal kita. Iya kan?
Lalu,
mengapa setiap kali kita mendengar kata ‘orang Barat’, apalagi bertemu orang
dari Barat, kita merasa minder? Seolah-olah hidup sebagai orang Timur dianggap sama
dengan bukan manusia.
Akibatnya,
orang baru merasa percaya diri kalau ikut-ikutan bertingkah dalam gaya orang dari
Barat. Dia tidak sadar kalau kepercayaan dirinya hanya dibangun di atas sebuah
konsep abstrak, yaitu konsep ‘orang Barat’. Kasihan sekali ya...!
Yogyakarta, 26 November 2015
Salam Hangat dariku,
Metodius Manek, CMF

Komentar
Posting Komentar