Langsung ke konten utama

O Ibu, Mengapa Engkau Cemas?





Ibu...,
Setiap hari engkau selau ingin mengetahui keadaanku. Kau selalu meneleponku. Setiap hari! Kadang saya minta ibu untuk pakai sms saja, biar tidak banyak pulsa yang ibu keluarkan. Tapi ibu tak pernah mau. Ibu selalu ingin meneleponku. Memangnya ada apa, Bu?

Ibu...,
Apakah ibu ingin selalu mendengar suara saya? Bukankah biasanya ibu suka mendengar lagu-lagu yang dinyanyikan para artis? Suara mereka kan lebih merdu daripada saya. Tapi mengapa ibu lebih suka mendengar suara saya daripada mereka.

Katakanlah, Bu! Terus teranglah pada putramu yang kini merangkai hidup di tanah rantau ini. Saya ingin tahu apa isi hatimu, juga apa isi kepala dan isi hasratmu.

Dulu pernah saya mencoba bernyanyi. Waktu itu saya ingin menghibur ibu. Tapi ibu tertawa saat mendengar suara lucu kekanak-kanakan saya. Ibu berkata, bunyi drum yang dipukul lebih indah daripada suara saya. Saya pun mengurung niat untuk bernyanyi, karena kecewa dengan respons ibu saat itu.

Tapi ibu membelaiku manja dan berbisik hangat di kupingku: “Ibu bangga punya anak seperti kamu, Nak! Ibu sayang kamu. Ibu sangat mencintai kamu, Nak!”

Ibu...,
Apakah ini alasannya ibu ingin selalu mendengar suaraku? Inikah alasannya ibu cemas dengan hidupku di tanah rantau ini?

Ibu...,
Aku di sini baik-baik saja. Di tanah rantauan ini, banyak orang mencintai saya seperti cinta ibu pada saya. Cinta mereka pada saya mengingatkan saya pada sosok ibu.

O ibu, mengapa engkau begitu cemas?

Ibu...,
Saya sudah besar. Sekarang saya 24 tahun. Tahun depan sudah setengah abad. Saya sudah dewasa. Saya sudah bisa mandiri. Saya sudah tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik. Saya pun sudah tahu memutuskan yang terbaik untuk hidup saya.

Ibu...,
Saya selalu ingat pesan-pesan ibu. Dulu ibu mengharuskan saya untuk selalu izin kalau bepergian. Memang dulu saya pernah pergi tanpa memberitahukan ibu. Sekarang juga sama. Saya pernah pergi tanpa memberitahukan pemimpin saya. Tapi ada bedanya, Bu!

Dulu saya pergi tanpa izin karena saya ingin bermain dan bersenang-senang dengan teman-teman saya. Saya ingin memenuhi hasrat infantil saya, ego seorang bocah yang hanya mencari kepuasan diri sendiri.

Tapi pada suatu hari beberapa bulan lalu saya pergi tanpa izin kepada pemimpin saya karena saya bertanggung jawab. Waktu itu ada orang yang sangat membutuhkan saya. Tanpa berpikir panjang, saya langsung pergi bertemu dia. Saya tidak bisa tidak bertemu dia. Saya hanya bisa bertemu dia.

Ibu...,
Dia menyandera saya. Dia memenjarakan saya dengan deritanya. Dan deritanya menuntut saya bertanggung jawab. Padahal saya bukan siapa-siapa dari dia, karena saat itu adalah pertemuan pertama kami.

Ibu...,
Seandainya ibu pernah belajar Filsafat, ibu pasti langsung tahu bahwa saya sedang menghidupi pemikiran seorang Filsuf. Dia adalah Emmanuel Levinas. Tapi karena ibu tidak pernah belajar Filsafat, saya mau katakan pada ibu bahwa itulah inti pemikiran Levinas: tanggung jawab mendahului kebebasan.

Ibu...,
Saya tidak pikir panjang waktu itu apa untung-ruginya untuk saya. Saya tidak mau banyak berteori, meskipun kadang orang berpikir bahwa kami yang belajar Filsafat dan Teologi hanya bisa berteori.

Tapi itulah yang terjadi. Saya tidak tahu alasannya mengapa saat itu saya sangat peduli dengan orang itu. Sekarang pun saya masih terus memikirkan dia, apalagi saat saya menatap wajah TUHAN YESUS dan BUNDA MARIA.

Saya merasa bertanggung jawab terhadap hidupnya. Saya tidak tega melihat dia terus menderita. Padahal saya tidak ada hubungan apa pun yang special  dengan dia.

Barangkali satu kalimat yang tepat untuk melukiskan pergulatan saya sebagai berikut: “Penderitaannya telah menyandera diri saya, dan tidak bisa tidak saya harus masuk dalam deritanya.

Ibu...,
Saya merasa bertanggung jawab terhadap hidupnya. Apakah ibu pun merasakan hal yang sama sehingga selalu ingin menelepon saya? Apakah ini alasannya ibu selalu cemas kalau tidak mendengar kabar mengenai keadaan saya? Apakah ibu merasa bertanggung jawab atas hidup saya?

Ibu...,
Kalau itu yang sedang terjadi pada diri ibu, saya hanya mau katakan: “Terima kasih ibu, saya tidak akan melarang ibu cemas, karena saya tidak mau cinta ibu dan tanggung jawab ibu melemah karena larangan saya.”

Ibu kalau boleh jujur, “Saya masih mengharapkan cinta dan perhatian dari ibu. Cemaslah dan cintailah aku sepuas hatimu, ibu.”


Yogyakarta, 30 November 2015
Salam Hangat Dariku,


Metodius Manek, CMF




Komentar

Postingan populer dari blog ini

“...SENDI PANGKAL PAHA ITU TERPELECOK...” (KEJ 32:25)

Mengapa sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging dari binatang yang menutupi sendi pangkal pahanya? Karena pada zaman dahulu, ketika Yakub (salah satu Bapa bangsa orang Israel) sendirian bermalam di Pniel (lih. Kej 32:24, 30), dia bergulat dengan seorang laki-laki utusan Tuhan (Kej 32:24). Pergulatan itu terjadi sepanjang malam. Di akhir pergulatan itu, ternyata Yakub menang. Karena melihat bahwa ia tak mampu mengalahkan Yakub, laki-laki utusan Tuhan itu memukul pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok (Kej 32:25). Keesokan harinya, Yakub pincang karena pangkal pahanya itu (Kej 32:31). “Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena DIA telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya” (Kej 32:32). SINGKATNYA, karena Yakub itu Bapa Bangsa mereka, bangsa Israel tidak makan daging dari binatang yang pangkal pahanya tertutup. Mari kita pun mencontohi para Bapa Bangsa k...

Kisah Terjadinya Tiang Garam

“Berkatalah seorang (malaikat Tuhan kepada Lot): “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, dan larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap” (Kej 19:17). “Tetapi istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Hari ini kita memperingati seorang martir di Roma. Namanya Raymundus Lullus . Kalau kerapuhan iman istri Lot hanya menyisakan tiang garam di Sodom dan Gomora, darah martir Raymundus Lullus mengokohkan tiang kejayaan kekristenan di Roma. Itulah sebabnya Roma tetap jaya. Meski kecil, tapi pernah dan akan selalu menggoncang hati dunia. Dari sanalah dunia ditata. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima – tapi itulah kenyataanya. Semua ini tak terlepas dari banjir darah dari martir di Roma ini, seorang Kristen sejati, Raymundus Lullus. Menatap semua kejayaan itu, kita boleh bercermin. Ketika para muri...

Membongkar 'Mindset' Uang Suap

‘Suap itu biasa kok !’ Ungkapan ini tak asing lagi di kuping kita. Bahkan Swarsono, Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumandangkan ungkapan ini. Masyarakat Indonesia sekarang mempunyai mindset : suap itu biasa saja, katanya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Sebelas Maret Solo, sabtu (9/11) lalu, Swarsono membandingkan praktik suap di Cina dan Amerika dengan praktik suap di Indonesia. Menurutnya, dalam mindset bangsa Cina dan Amerika, praktik suap dipandang sebagai suatu kejahatan. Karena itu, kedua bangsa itu berusaha untuk menghindarinya. Sementara dalam mindset masyarakat Indonesia, kata Swarsono, praktik suap sudah menjadi hal yang biasa saja ( Kedaulatan Rakyat , 11/11). Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami. Uang suap harus diberikan kepada pihak yang menghambat urusan itu, sehingga urusan menjadi lancar. Kini sema...